SEPATU RODA Ebook by Syauqy_arr - OCR by Raynold Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 1. Sepatu Roda ­"HALO, anak-anak manis, selamat sore, Selamat ketemu lagi di acara kesayangan para remaja: 'Anda Meminta, Kami Menolak' dari radio kesayangan kalian semua, Radio Ga Ga. Horeee..," Suara riang diiringi musik pembuka itu mengalun manis dari radio seorang cowok yang baru bangun dari tidur siangnya. Cowok itu kini lagi sibuk mengucek-ucek matanya. "Dan saya yakin, pasti kalian semua saat ini baru terjaga dari bobok siangnya dan mendapatkan diri sedang terkagum-kagum mendengar suara saya yang merdu. Yang lain daripada yang lain, " Yeah, terus terang aja, saya emang penyiar baru di sini. Baru keterima tadi pagi, setelah mengalahkan rival-rival yang terdiri dari para pensiunan tukang obat dan tukang gas keliling yang berebut pada ikut ngedaptar..." Cowok yang baru bangun tidur itu setengah gondok mendengar celoteh sombong penyiar baru di radionya. Tapi daripada bengong, dia toh lebih suka nguping di radio bututnya. "Kenalin, nama saya Olga. Terdaptar sebagai anggota ke-23. Kalo di kode buntut angka 23 itu emang lambang monyet, tapi sumpah mati saya paling kece di sini. Para penyiar lain udah pada uzur semua. Gak bisa dikecengin lagi. "Eng..., nama saya Olga. Orang serumah nyebut saya gitu, Termasuk Papi-Mami dan tetangga kanan-kiri yang kebetulan kenal. Saya memang terkenal, Cuma Bik Inah saja yang sering manggil saya 'Neng Ol'. Terutama kalo Bik Inah maksa-maksain saya supaya sarapan dulu sebelum berangkat sekolah, sementara sayanya udah siap-siap mau kabur keluar. Maka Bik Inah dengan entengnya terus menjerit-jerit, 'Neng Ol..., Neng Ol..’ Suaranya merepet kayak petasan cabe rawit, dan jelas nama saya jadi kedengeran gak keruan. Rada keki juga, tapi lama-lama maklum. Soalnya gitu-gitu maksud doi kan baik. "Sedang data-data keluarga, biar tau aja, menurut sensus, saya tuh termasuk anak bontot sekaligus sulung. Maksudnya semata wayang gitu. Makanya Papi-Mami segitu sayangnya sama saya. Kalo minta duit nih umpamanya, gak pernah gak ditolak. Ditolak terus, kecuali kalo penting banget. Pikir-pikir, apa artinya disayang kalo minta duit jarang-jarang dikasih. "Dulu-dulunya saya anggap Papi-Mami itu orangnya pedit. Tapi setelah dikasih tau alasannya, ee,.., gak taunya memang pedit. Alasan Papi-Mami, di masa resesi begini, saya gak boleh terlalu boros. Jangan terbawa arus remaja konsumtris. Tahan dikitlah. Beli yang perlu-perlu aja. Misalnya korek kuping, biar Papi kalo manggil saya, gak perlu teriak lima kali dulu. "Tapi saya tetap curiga, itu makanya saya tetep nganggep Papi-Mami pedit. Sebab apa hubungannya resesi sama ngasih jajan anaknya. Para orangtua kan harusnya berprinsip, biarkan resesi berlalu, tapi jajan anak jalan terus. "Ciri-ciri khas saya, selain kece berat, saya punya rambut yang dikepang dua, Hidung mancung, dan mata yang indah. Hobi saya main sepatu roda, "Enak lho, kalo lagi jalan-jalan pake sepatu roda, saya suka berpegangan ke becak-becak yang sedang jalan. Gak capek. Saya udah main sepatu roda dari kecil. Dari zaman balita. Biar begitu, saya tetap gak merasa istimewa, Biasa-biasa aja, Kecuali kalo lagi tidur, mimpi saya suka berkelir. Full color...." Cowok yang lagi asyik nguping celotehan Olga, jadi tambah gondok. Sombong banget sih anak baru ini, makinya. "...Sebelon ngocol lagi, saya mau tanya dikit. Apa perlu saya lanjutin cerita ini? Kayaknya udah pada suntuk ngedengerinnya. Terutama cowok yang pada baru bangun tidur itu.. Saya liat bibirnya memble aje. Padahal gak begitu kece. Kalo begitu kita puter aja satu lagu manis pembarep jumpa kamu dengan cewek manis, Olga,.. Horeee,.. " Dengan dongkol setengah mati, cowok yang ternyata bernama Somad (berani taruhan, bokapnya pasti tukang ketupat) itu mematikan radionya. Lalu asyik membuka-buka majalah. Pura-pura konsentrasi sama bacaannya. Tapi setengah jam kemudian, dia mulai suntuk. Diem-diem di dalam hatinya, dia kangen pengen denger suara penyiar baru itu. Kangen sama ngocol-ngocolnya yang seenak perut. Maka dengan malu-malu, dia pun memutar tombol radionya, dan... "Selamat jumpa lagi dengan Olga..., udah deh gak usah malu-malu. Kalo emang suka, ya nyalain aja terus radionya...." ­Somad terkejut. Lho, kok dia bisa tau, ya? Somad jadi tersipu-sipu malu. "...dan lagu berikut ini adalah kiriman dari seorang gadis penjual jamu yang bernama Icih, Icih membingkiskan lagu ini kepada Somad yang sedang tersipu-sipu malu di tempat tidurnya, dengan ucapan, 'Mad... , Mad..., kalo abis bangun tidur langsung mandi aja, jangan narik-narik selimut lagi. Biar lebih manis dikit'..." Kali ini Somad benar-benar naik pitam. Dia langsung menyambit radio dengan sandal jepitnya. Radio keparat! umpatnya, Dan pada saat yang nyaris bersamaan, di Studio radio, Olga sudah bersiap-siap mengakhiri siarannya. Untuk pertama kali cukuplah sekian dan terima kasih. Dengan hati yang masih riang, dia langsung mencari-cari sepatu rodanya, dan pamitan pulang. "Jangan lupa hari Kamis, ya, Ol?" ujar Mbak Vera, kepala bidang siaran. Olga mengangguk. Ya, cewek umur enam belas tahun itu emang lagi hepi berat hari ini. Pasalnya mulai hari ini dia udah keterima kerja sambilan jadi penyiar di radio. Padahal pagi tadi, waktu ngedaptar, dia cuma modal nekat aja. Pake jins dan sepatu roda. Dan dia sempet shock berat ketika memasuki ruang tunggu. Di situ pemuda-pemuda rapi berdasi pada duduk dengan manisnya di jejeran kursi. Sementara masing-masing membawa map yang berisi berkas-berkas riwayat hidup. Olga bener-bener gak tau kalo harus tampil manis begitu kalo mau daptar kerjaan. Dia kirain mau langsung diinterpiu, ditanyain minta honor berapa, hobinya apa, bintangnya apa. Tapi kepalang tanggung, dia nekat aja duduk di bangku yang masih kosong. Dengan kepala digeleng-gelengkan, sehingga rambutnya bergoyang ke sana-kemari, menikmati lagu yang diputar di ruang tunggu. Dan setelah diteliti, ternyata dia satu-satunya yang berjenis kelamin cewek. "Nunggu kakaknya ya, Dik?" seorang cowok perlente menegur. Olga menoleh, "Kok nuduh?" "Lho, saya ini tanya kok." "Oo... Eng..., nganu Mas, saya mau ngelamar jadi penyiar. Lumayan kan, duitnya bisa untuk beli sepatu roda baru. Situ ngapain di sini? Mau minta sumbangan, ya?" ujar Olga seenaknya sambil memandang ke map yang didekap mesra oleh si Mas itu. Cowok yang mengaku bernama Tobat (yang ini pasti bokapnya tukang obat!) cuma mesem. Katanya, dia juga mau ngedaptar. Dia ­eks penyiar radio. Konon dia yang biasa bacain laporan harga sayur-mayur semacam kol gepeng, tomat pesek, dan lain-lain. Demi melihat rival-rival yang bukan kelasnya itu, tentu saja Olga setengah pesimis bakal diterima. Wong, dipikir-pikir dia emang tak punya pengalaman kerja sama sekali. Paling-paling, sore hari dia biasa ngrumpi sama tetangga-tetangganya. Tapi nasib orang siapa tau? Olga akhirnya malah keterima. Kebetulan yang dicari emang penyiar cewek. Jadi meski waktu diinterpiu penampilannya minus banget, Olga bisa diterima. Dan radio ini juga radio remaja, bergaya remaja, jadi penampilan Olga yang bener-bener ngeremaja itu menarik minat Mbak Vera. Dan tentu saja ada orang yang suka sirik melihat kesuksesan orang lainnya. Seperti seorang penyiar senior cowok yang bernama Ucup, yang punya jenggot aduhai ala bandot tua. Dia ceritanya mau ngerjain Olga, "Sebagai orang baru, anak centil itu harus dimapras. Biar gak seenaknya. Biar bisa menghargai kita-kita yang udah senior," ujar Ucup di depan teman-temannya. . Olga pun dipanggil masuk. "Apa hobi kamu?" tanya Ucup kurang ramah. "Oo..., banyak. Main sepatu roda, kilik kuping, ngebakso, ngerujak, ngeceng, gigit- kuku..." "Stop! Stop! Jangan main-main, ya? Sebutkan saja yang penting-penting!" bentak Ucup. "Lho-saya gak main-main kok. Serius." "Bisa nyanyi?" "Oh, bisa! Bisa!" Olga menjawab semangat. "Bagus. Sekarang, kita para senior mau denger suara kamu. Coba nyanyikan lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu yang hurup akhirnya diganti '0'. Jangan sampe salah, sebab bisa gawat. Ayo mulai!!!" Belum sempat gaung suara Ucup itu tewas, Olga dengan lincahnya langsung berdiri dan ber-Satu-satu Aku Sayang Ibu-ria. Suaranya melengking persis nenek-nenek kejepit pintu. Badannya yang lumayan ceking itu digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri. Kepalanya juga digeleng-geleng tanpa sungkan, sehingga kuncir duanya ngatung-ngatung. Wah, pokoknya jijai banget tuh gaya! "Sato-sato ako sayang Ibooo..." suara Olga membahana memenuhi ruangan. Badannya nguget-nguget terus mirip cacing kesundut. Akhirnya para senior pada ketawa, dan Ucup gak tahan juga, Doi ngaku kalah. Olga dipersilakan menghentikan aksi gila-gilaannya itu. "Yaa..., kok cuma sebentar sih? Saya belon puas nih. Tambah, ya?" protes Olga. "Cukup! Kamu jangan macem-macem. Mao diterima gak jadi penyiar sini?" seru Ucup galak. Olga terpaksa diam. Tapi dia tetap merasa senang. *** ­Sebetulnya jadi penyiar radio bukan cita-cita Olga. Dia itu cuma mau cari tambahan dana buat beli sepatu roda yang baru. Yang selalu dilihatnya di toko olahraga dekat supermarket. Harganya memang mahal, soalnya itu sepatu model baru. Dan Olga merasa perlu untuk mengganti sepatu roda bututnya yang bentuknya udah kayak truk sampah. Tapi dasar papi-maminya emang pedit, biar udah merengek-rengek, tetap aja gak dibeliin. "Pake aja yang lama .dulu. Kan masih bagus. Belajar setia dikit dong sama temen lama. Masa mentang-mentang ada yang model baru, terus yang model lama mau dibuang?" komentar maminya. Papinya manggut-manggut aja. Ih, kalo dalam soal pedit, dua makhluk itu emang kompak banget. ­"Bukannya gak setia. T api sepatu roda yang lama kondisinya sudah amat sangat mengkhawatirkan. Sudah waktunya buat pensiun, Mi. Rodanya udah gak lancar lagi. Seret. Sering macet-macet. Bahaya kan, Mi." "Diminyakin aja. Sana ambil duitnya buat beli minyak. Dua ratus perak cukup, kan?" ujar maminya kalem sambil meneruskan menisik kemeja Papi. Olga mengumpat-umpat. Huh, dasar pedit. Makanya jalan keluarnya, dia harus nyari dana tambahan. Soalnya duit tabungannya gak cukup. ­*** ­Dan sore itu, Olga dengan bangga memandang ke etalase kaca toko olahraga. Memandang sepatu roda gagah yang terpajang manis di dalam. Senyumnya merekah. "Sebentar lagi kamu jadi milikku, Manis," bisik Olga gembira. Ya, soalnya kini sudah genap sebulan Olga kerja jadi penyiar radio. Sore ini, dia mau ke studio untuk mengambil honornya. Setelah itu, Olga akan buru-buru balik ke sini lagi untuk membeli sepatu roda manis. "Tunggu ya, Manis. Saya gak akan lama. Nanti kita bisa main sama-sama selamanya," ujar Olga. Dan dia pun segera bersepatu roda menuju studio. Tas jinsnya terayun-ayun tertiup angin. Dada Olga sesak dengan rasa bahagia. Bagaimana tidak, sudah sebulan lebih dia memendam rasa rindu ingin memiliki sepatu roda itu. Dan sekarang saatnya tiba... "Aduh, Olga, kamu gak bisa ngambil honor sore-sore begini. Kenapa gak tadi pagi? Kasnya udah tutup. Atau besok pagi aja ya, saya siapkan." Ucapan Mbak Vera membuat Olga bengong. Yaaah, gagal lagi. "T api besok pagi saya sekolah, Mbak." "Gak pa-pa. Nanti saya siapkan pagi-pagi, dan sorenya bisa kamu ambil ke saya." Olga terpaksa mengangguk. Pulangnya sekali lagi Olga lewat ke toko olahraga itu. Dia menyempatkan masuk ke dalam. "Mas..., itu sepatu roda yang dipajang di depan, tolong simpan, ya? Besok mau saya beli. Boleh, kan?" "Boleh. Boleh," Setelah itu, Olga pun pulang dengan perasaan yang agak tenang. ­*** ­"Olga sayaaaang, Mami punya surprais besar buatmu." Ucapan mesra maminya menyambut kedatangan Olga di rumah. ­"Oh, ya?" Olga menjawab acuh tak acuh. Soalnya Olga udah biasa ngadepin maminya. Bagi maminya, baru bisa ngebeliin sandal jepit baru buat Olga aja udah dianggap surprais besar. Padahal Olga sama sekali gak merasa ada kejutan. "Kemarilah, Anakku. Lihat, apa yang Mami bawa untukmu," ujar maminya senang. Olga terpaksa menghampiri. "Lihat, Ol. Apakah ini?" Olga bengong memandang sepasang sepatu roda baru yang terpajang manis di meja kecil. "Ini untukmu, Olga." Sepasang sepatu roda baru diserahkan maminya kepada Olga. Ya, sepasang sepatu roda baru. Tapi bukan yang model baru. Bukan yang seperti Olga lihat di etalase kaca. Bukan. "Kamu senang kan, menerimanya?" papinya ikut menimpali. Olga menggaruk-garuk rambutnya. "Aduh, Pi, Mi. Sebetulnya kamu-kamu gak usah terlalu repot ngebeliin Olga sepatu roda yang baru. Soalnya Olga udah punya duit buat beli yang baru. Yang modelnya gak kuno kaya gini. Ini sih, pasti yang murahan punya, ya?" sahut Olga sambil meneliti sepatu baru itu. "Olga!! Siapa yang ngajari kamu gak bisa menghormati pemberian orang? Dan kamu janggan ber'kamu-kamu' dengan orang tua terhormat seperti kami, ya?" bentakan maminya bikin Olga kecut. "Tapi, Mi, Olga udah nabung capek-capek untuk beli sepatu yang Olga mau. Salahnya Mami sendiri, kenapa gak bilang-bilang mau ngebeliin sepatu roda," bela Olga. "Mami kan mau bikin surprais. Pokoknya kamu harus bisa menghargai pemberian orang. Jangan berani coba-coba beli sepatu roda lagi, ya, sebelum yang Mami beli ini rusak!" putus maminya. Olga keki setengah mati. Dia langsung berlari ke kamarnya. Di situ dia ngambek. Keki, kesal, marah, numplek jadi satu. Dia ngambek. Mogok makan, mogok mijitin kaki Papi, mogok keluar kamar dan gak mau siaran lagi di radio. Buat apa? *** Sore itu Somad terbangun dari tidur sorenya. Mengucek-ucek mata sebentar, lalu menoleh ke jam wekernya. Busyet, udah jam empat lewat. Dia pun buru-buru menyalakan radionya. Pengen denger anak baru itu siaran lagi. Kangen denger ngocol-ngocolnya. Tapi, tentu saja Somad kecewa. Karena suara Olga tak ada lagi di situ.... ­ 2. Bintang Numpang Lewat ­SETELAH beberapa hari gak nongol ke studio, hari ini Olga udah ada di dalam kotak kaca lagi. Siaran. Namanya anak gadis, ngambeknya cepet jadi ilang. Dia pikir-pikir, rugi dong. Gak siaran uang jajan gak nambah. Lagian Mbak Vera, kepala bidang siaran, udah baek banget ama Olga. Waktu ngambek, dia nyempet-nyempetin nengok. Tapi Mbak Vera emang baek, kok. Saban Olga dateng ke studio, langsung aja disuruh ngebayarin siomai... hihihi. Yang girang tentu aja si Somad. Sore itu dia terbangun lantaran suara cempreng Olga dari radio bututnya. Langsung Somad tereak histeris... "Hah! Ada lagi? Hore... die nongol lagi! Enyaaak, die nongol lagi. Sebentar, ya, Somad mau mandi...." Enyak Somad gelagapan. Somad nyamber anduk yang lagi dililitin di pinggang Enyak. Si Enyak jadi ikutan histeris! Sementara Somad segera terbang ke kamar mandi. Dengerin suara Olga, penyiar yang dipuja-pujanya, mesti bersih diri dan jiwa. Ini prinsip Somad. Untung radio bututnya masih mejengin tembang pembuka, Gubuk Derita yang dibikin rap. Masih ada waktu buat nyisir. Masih sempat naburin minyak sinyong-nyong ke sekujur tubuh. Enyak Somad terang geleng-geleng liat anak semata wayangnya dandan segitu rupa. Mirip artis reog. "Mad, emang mau ke mana, sih?" "Aye mau dengerin suara sukaan aye, Nyak." "Sukaan lo? Anak mane die? Sembahyang kagak tu anak?" "Gak tau anak mane. Yang terang suaranya enak." Somad cepet nutup pintu kamarnya. Membuat enyaknya berpikir-pikir. "Ya, jumpa lagi sama Olga. Sori ya, saya lama gak nongol di Radio Ga Ga. Maklum deh sibuk ngurus show-biz. Saya kan gini-gini ikutan di arena enterprise segala. Bulan depan saya mau mentasin musik rock di Parkir Timur. Tapi yang dateng musti pake rok semua... hihihi. ­"Eh, iya, saya mau langsung nemuin cowok yang baru cibang-cibung. "Cowok ini baru mandi karena sebelumnya dia abis ngompol... hihihi. Ngaku aja deh." Somad kaget. Tapi suka. "Sayang..., saya mandi bukan abis ngompol, sengaja buat dengerin suara situ, kok," protes Somad dalam ati. "Eh, kalo mandi gak usah buru-buru. Ntar sabunnya ketelen baru nyaho, lho. En, ada baeknya juga ya, pake anduk joinan. Tapi jangan maen samber aja, dong.... "Hihihi. "Eit, jangan marah. "Saya bilangin nyak kamu lho?" Disindir, Somad malah tersipu-sipu. Ditarik jambul rambutnya. Biar Olga terus kirim salam. "udah dulu, ya?" Somad penasaran. Kok bentar banget ngasih salamnya? "Abis, ternyata cowok yang baru mandi tadi..., mandinya gak pake sabun. Hi..., jorok!" Somad malu. Lalu cepat keluar kamar dan nyamber anduk yang ngelilit di pinggang enyaknya lagi. T erbing ke kamar mandi lagi untuk mengulang mandinya dengan pake sabun! ­*** ­Dan namanya anak muda, Olga selalu tertarik sama hal-hal yang berbau hura-hura tapi bisa menguntungkan. Lewat Mbak Vera, dia dan sobatnya, Wina, ditawari jadi figuran di film Menunggu Jemuran Kering. Si sutradara yang lagi iseng ke Radio Ga Ga, untuk diwawancarai, tertarik sama Olga yang cuek. Yang suka bersepatu roda-ria ke studio. "Eh, kamu penyiar radio sini juga, ya?" tanya sang sutradara. "Lha, baru tau, ya? Emang situ ke sini ada apa? Mau minta dikirimi lagu? Sebaiknya kamu gak usah cape-cape dateng ke sini, lewat telepon kan bisa. Atau kamu gak punya telpon? Kalo iya, kirim wesel aja, nanti saya bingkisin lagu deh." "Saya sutradara. Mau..." "Sutradara? O, yang tukang bikin film, ya? Kalo gitu situ lagi cari pemain, dong." "Iya. Saya mau ajak kamu ikutan di film saya. Jadi figuran. Numpang lewat doang. Honornya lumayan Iho." "Wah, asyik juga ya, main film. Tapi kalo sendirian malu. Saya boleh ajak temen, gak?" ­"Boleh, asal cakep kayak situ. Ni kartu gaplek, eh kartu nama saya . Yuk. .." Olga dan Wina mau jadi figuran­ dengan bayaran lima belas ribu perak seha­i. Wih... kebayang, uang segitu bisa buat beli aksesori macem-macem. Padahal perannya ringan, jadi teman sekelasnya si bintang utama, yang rencananya bakal dimainkan Shandut, bintang film yang suka kejedut. Olga bukan seneng karena bintang utamanya Shandut, tapi dia sibuk. menghitung-hitung, berapa uang yang bakal ia terima kalo jadi main. Belum lagi kalo shooting-day-nya tertunda-tunda ujan, berarti proses pembuatannya makin lama.. Artinya, kontrak kerja makin panjang, artinya lagi, duitnya bakal tambah banyak. Horeee.... "Ya, masih bersama Olga.., ampe pukul lima. "Radio Ga Ga, radio anak muda yang suka gaya. Buktinya saya sebagai penyiar bakal ikutan main film. "Kamu gak percaya? Tunggu aja, Ida Iasha bakal punya saingan beraaat...." Somad yang sore itu udah rapi karena sudah mandi pake sabun, seneng banget penyiar pujaannya itu mau main film. Hati Somad berdoa, "Semoga ia bisa mengalahkan penyanyi dangdut itu. Emangnya penyanyi dangdut cuma die doangan? Aye yakin Olga lebih yahud goyangannye daripada Ida Laela. Pasti lebih hebat. Ya, semoga... Amin." "Gimana kalo kita dengerin bareng-bareng congor Milli Vanilli dulu.... "Eh, lagu ini khusus buat kamu-kamu yang belon mandi. Yang udah mandi gak boleh denger. Abisan jam empat kok udah mandi. Keburu bau lagi, ntar...." Berbarengan dengan Milli Vanilli yang asik nyanyi Blame It on the Rain, Somad berlari-lari kecil mengelilingi kamarnya. Push-up dan loncat-loncat. "Hei..., dengerin lagu, kok, loncat-loncatan, sih," tiba-tiba Olga mengomentari. Somad kaget, lalu tersenyum. Hati Somad berbunga, " Aye sengaja begini biar keringetan lagi. Biar disangka belon mandi. Aye kuatir kagak boleh dengerin...." *** ­Somad di rumah. Seperti biasa, siap ngejogrok di depan radio bututnya. Hari masih siang, masih belon ada suara Olga. Somad emang tipe cowok setia. ­Radio itu dielus-elusnya penuh perasaan. Penuh penjiwaan. Tapi belakangan ia uring-uringan terus. Enyaknya heran juga. Agak jarang anaknya punya sikap aneh kayak gini. Makan ogah, minum gak suka, diajak ngobrol mingkem. Yang kacau Somad jadi sering-sering nongkrong di wc umum. Kadang seharian. Tentu ngerepotin. Sebab di wc umum sejamnya gocap, gimana kalo seharian? Apa bukan pemborosan ? "Mad, kalo emang lagi suntuk nongkrong aja di jalan layang, pemandangannya enak, gratis lagi." Somad cuek. Si enyak langsung ambil prasangka, pasti ini anak pengen dikawinin. Iya. Seorang ibu bisa ngerasain gimana perasaan anak yang pengen kawin. "Lo lagi sukaan, ye?" Somad diem. "Kalo emang lo udah ngebet, celengan Nyak lo bobok aje. Udah dapet kayaknye, sih, buat beli roti buaya... buat ngelamar sukaan lo." Nyak emang gak salah lagi. Dugaannya seratus persen bener. Si Somad emang lagi kesengsem berat ama Olga. Sejak ia denger 'suara cempreng di radio bututnya, cintanya langsung berkobar-kobar, bak rumah kebakaran. Somad berniat ingin berjumpa Olga Apa pun yang terjadi. Peduli tarip telepon naik lagi. Toh Somad gak kenal telepon! *** ­Sementara Olga dan Wina mulai jadi figuran. Di hari pertama mereka masih grogi. Mereka masih asing dengan cara kerja orang-orang film, yang lebih banyak bekerja dari pada becanda. Sementara Olg­ berfilsafah dalam hidupnya, becanda lebih asyik daripada bekerja. Atau paling gak, kerja sambil becanda. Olga agak risi ketika pagi-pagi sudah dijemput. Mata masih ngantuk, Dan gak sempet mandi, langsung di-make-up. Syuting baru mulai pukul sebelas, karena bintang utama, Shandut, belon nongol. Dan figuran mesti sudah siap. Dan ketika syuting mulai, Olga benar-benar ngantuk. Jadi suntuk. Apalagi ketika dipaksa sutradara untuk k­etawa sambil tereak-tereak. Ceritanya para figuran melihat Shandut yang tiba di pintu ­gerbang sekolah, lalu nyogok satpam biar boleh masup. Olga ketawa. Dan terus ketawa sampe sutradara teriak, "Cut, cut, cut!" Olga gak tau kalo "cut" maksudnya stop. Olga kira cut artinya cakep. Makanya Olga terus ngakak. Olga ditegur sutradara agar memperhatikan segala instruksinya. Abis, salah sendiri. Kenapa syuting di Indonesia kok nekat pake istilah bahasa Inggris segala. Kenapa gak pake bahasa Indonesia aja. Saat mulai adegan juga begitu. Sutradara selalu tereak, "Camera ready? Oke, opname...!" Nah, gak salah, dong, kalo tau-tau Olga nanya ama sutradara, "Mas, Mas, emang siapa yang sakit, kok, diopname segala?" Akibatnya syuting diulang lagi. Olga gak enak ati. Apalagi beberapa orang di situ, mulai pemain utama, pemain pembantu, tukang masak sampe tukang sapu menatap sinis kepadanya. Olga jadi benar-benar grogi. Apalagi pas disuruh dialog. Salah melulu. Disuruh nyebut "marah ni ye" Olga bilang "merana aje". Disuruh ngejitak Shandut malah ngegampar. "Abis tanggung, sih," kata Olga. ­Tapi sutradara maklum karena Olga baru pertama kali. Dan biar begitu Olganya suka. Ia sampe bolos sekolah segala. Olga dan Wina juga sering nyogok Pak Aleks yang ganjen. Nyogoknya pake rayuan. Hari-hari berikutnya Olga dan Wina jadi sibuk banget. Selain jadi sering bangun pagi, Olga jarang mandi. Abis keburu dijemput, sih. Siangnya juga, gitu. Olga sampe lupa sekolah. Sorenya apalagi, Olga sering absen Siaran. Mbak Vera udah memperingatkan, jangan terlalu dibela-belain ‘tu syuting. Biasa aja. Sekolah harus jalan terus. Juga siaran. Olga emang udah beberapa hari gak siaran, gara-gara syuting. "Maap deh, Mbak Ver," tukas Olga waktu diingetin lagi, "Saya janji akan ngatur waktu sebaik-baiknya." . Iya, dong, Ol, siaran lagi. Kasihan kan Si Somad, hihihi.... "Eh, beberapa hari ini," kata Mbak V­­ara tiba-tiba, "ada cowok yang suka nyariin kamu terus. Namanya gak jelas. Tampangnya apalagi. "Katanya, penting sekali, Ol. Menyangkut masa depan kamu." Olga jadi mikir, siapa, ya? Teman sekelas atau teman sesama figuran? Saat syuting, emang ada beberapa anak figuran cowok yang naksir Olga. Tapi... "Diinget-inget, Ol. .Mungkin kamu masih punya utang ama tukang siomai," Kasihannya, saban orang itu dateng, selalu gak ketemu Olga, soalnya Olga sekarang kan sibuk berat. Sekolah, syuting, siaran, ngeceng... . Praktis Olga jadi "sebodo teing" dan ngelupain orang yang nyariin dia terus. ­*** ­Tapi sepuluh hari berjalan ikutan syuting, Olga mulai ngerasa gak enak jadi figuran. Ia sebel banget liat tingkah bintang yang mulai sengak. Yang suka nganggap rendah figuran macem dirinya. Pernah Iho Olga disangka nbisa dipake" ama" 'tu bintang. Pernah emang, seorang figuran cewek diajak nginep ama salah seorang karyawan berpengaruh. Sejak itu para figuran, khususnya cewek, disangka "gituan semua". Disangka bisa diajak nginep semua. Olga juga mulai gak suka sama sutradara yang beningkah egois. Maunya marah-marah melulu, kayak yang bisa marah cuma dia aja. Gitu juga kru-kru lainnya, yang "grasa-grusu" lantaran syuting terasa begitu lama. Mereka kuatir, gak dapet kontrak kerja baru lagi. Jadinya pada bertingkah over. Maka gak salah kalo Olga menganggap dunia film cuma kumpulan orang-orang pemberang: Gak boleh kesinggung dikit. Maunya marah. Tapi terkadang Olga maklumin juga. Kerja film memang menuntut tenaga ekstra. Mana honor para krunya relatif kecil. Gak sesuai ama tenaga yang udah dikeluarin. Olga sendiri ngerasain, kalo kerja film gak kenal waktu. Gak punya jam kerja. Kadang dari pagi ketemu pagi lagi. Sering dari pagi ampe tengah malem. Sementara Olga cuma nunggu giliran disyut. Kan makan ati. Olga sering pucet karena kurang tidur. Dan jangan heran kalo sistem kerja kayak gitu, bikin berat badan Olga susut beberapa kilo. Di rumah, maminya sampe heran ngeliat kondisi tubuh Olga. "Emangnya kamu ikut syuting nggak pernah dikasih makan ya, Ol. Kok badanmu jadi kurus begitu?" Olga yang buru-buru mau berangkat ke lokasi, padahal baru jam tujuh pagi, cuma bisa ngejawab sekenanya. ­"­Soal makan sih dijamin, Ma. Enak-enak lagi.. tapi kerja orang film kan gila-gilaan. Kuli aja kalah. Nah kita yang jadi figuran k­labakan. Mana dibentak-bentak melulu lagi." Dan hari ini Olga kena bentak lagi. Olga dituduh dateng telat. Padahal dari rumah Otga udah ,bela­-belain berangkat sepagi mungkin. Ia janjian ama Wina di Blok M. Syutingnya, kebetulan di Cinere. Wina yang punya CIVIC Wonder warna kuning mentereng itu gak nongol-nongol. Akhirnya Olga ambil keputusan berangkat sendiri naik metro mini. Dan bukan metro mini namanya, kalo gak bikin orang telat. Abis kena damprat, Olga ngegerombol bare­gan figuran yang lain. Ia nyempetin nyari-nyari Wina. Taunya tu anak emang belon nongol batang idungnya. Wah, bakal kena damprat juga 'tu anak. Bisa lebih sadis, pikirnya. Lagi enak-enak­ ngebayangin omelan apa y­ng bakal d­tenma Wina, si astrada memanggil semua figuran untuk siap-siap di-syut. Adegannya, para figuran pada nyebur ke comberan karena kegirangan. Walhasil pas makan siang, Olga masih ­elep­t­ lump­r. Un­ung lumpurnya lumr bikinan. Jadi gak gitu bau. Biar gitu, gak urung Olga lari ke kamar mandi buat bersih-bersih. Selesai ngebersihin badan, Olga nyomot nasi bungkus dan makan di pojokan dengar lahap bersama para figuran lain. Makannya sambil becanda-canda dan ngegosipin para bintang utama yang lagunya pada tengik. Abis makan, mereka kembali nunggu panggilan syuting. Duduk sambil nyender. Nah. saat itulah Olga, Devi, Vini, dan beberapa teman figuran yang lain, kaget setengah mati. Pasalnya, Mukidi - karyawan dari bagian pembantu umum yang suka nganterin makan dan minum-ngomel sengit sambil ngebanting sendok dan gelas ampe pada pecah. Mukidi kesel, karena banyak sendok, gelas dan piring yang gak dikembaliin ke tempat nya. Olga tentu aja mengkeret. Karena kebetulan- sekali, sendok dan gelas itu bekas di pake. Olga dilabrak abis-abisan sama Mukidi padahal sudah sempat minta maap. "Gue udah lama ikut pelem, tapi baru kali ini ada figuran yang tengik kayak lo-lo pade. Emang gue di sini bagian pe-u. Pembantu Umum. Tapi bukan berarti lo-lo pade nganggep gue kuli . Tau?" Dan Olga sakit banget digituin. Dia kan gak sengaja begitu. Dan, kenapa Mukidi beraninya marah ke dia aja. Apa lantaran Olga figuran? Padahal para bin tang utama, sutradara, dan karyawan lain lebih sering bikin keki. Nyuruh-nyuruh seenaknya. Olga belum pernah nyuruh-nyuruh. Inilah nasib figuran, pikir Olga. Jadi bahan pelampiasan. Olga nebak, pasti Mukidi juga kesel sama para bintang utama dan sutradara yang memperlakukannya seperti jongos. Tapi karena gak punya keberanian, kekeselan itu ditransmigrasikan ke tempat lain. Olga-lah sasarannya. Tentu Olga gak nerima. Ia ngerasa terhina harga dirinya. "Ini air terakhir yang gue minum di sini, di suasana syuting begini," batin Olga janji waktu minum air putih di kala syuting break. stop-swatch di tangannya menunjukkan pukul sebelas belas malam. Ia pulang bareng Wina yang telat dateng. Keputusan Olga udah mantap, ia ia gak bakal mau ikutan lagi main film sebagai figuran setelah film ini selesai. Hati Olga sakit banget dibentak-bentak kayak tadi. Segalak-galak maminya aja, gak pernah marah kayak gitu. Di dalam Wonder yang lari seratus, Olga diem-diem menitikkan air mata. Ia benar-benar r kapok terjun ke dunia film. Kapok dan gak bakal lagi coba-coba. Olga mulai sadar kalo dunia film gak cocok buat dirinya. Sadar ­kalo uang bukan segala-galanya. Memang sih selama jadi figuran dengan honor harian, Alga sempat ngantongin duit banyak. T­api buat apa kalo sampe harga diri terinjak-injak. Masih enak jadi penyiar, biar honornya nggak seberapa, batin lebih puas. Dan bisa tidur pulas. "Eh kalo ditawarin jadi bintang utama gimana, Ol?" tanya Win­. tiba-tiba setelah membanting setirnya ke kiri, masuk ke garasi rumah Olga. Olga diem sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Emangnya ada yang nawann, Win?" ­ 3. Diary Dilla ­JADWAL siaran Olga nambah. Ini berarti uang saku juga nambah. Tapi yang bikin Olga belingsatan, ternyata ia disuruh megang acara mitnait Diary yang jam sepuluh sampai sebelas malam. Siaran langsung lagi! "Suara kamu cocok, Ol, buat didengerin malem-malem. Kayak kuntilanak. Hihihi...," ujar Mbak Vera, kepala bidang siaran. "Apa gak bisa rekaman aja, Mbak?" Olga ngeri ngebayangin malem-malem ke studio. Ih, syereeem! "Jadwal studio udah penuh, Ol. Lagian operator acara Diary cuma bisa masuk malem. Dengan siaran malem, kamu bisa lebih menghayati suasana di saat acara itu mengudara, O1. Misalnya, saat ini di studio hujan rintik-rintik, membuat malam semakin dingin, dan seterusnya.." Olga diam. Bingung. "Minta anterin abang kamu kek!" ­"Gak punya...." " Adik?" " Belon ada..." "O, jadi anak semata wayang? Pantes!" Tapi untung akhirnya dapet temen yang mau nganterin. Si Wina itu. Wina yang punya Civic Wonder berbaik hati mau anter-jemput Olga siaran. Asal saban pulang kudu dijajani nasgorkam (nasi goreng kambing!). Itung punya itung, ternyata malah defisit. Honor sekali siaran gak seimbang dengan biaya nraktir Wina ke nasgorkam. Wah rugi.. .. Tapi biar deh. Win udah berbaik hati. Dan dasarnya Olga emang hobi siaran. Maka ia setuju. Soal izin ortu, bisa diatur. Wina udah dipercaya orang rumah. Ngaku belajar bersama, beres! Soalnya kalo terus terang ngaku siaran, mana dikasih? Olga emang gak pernah bilang-bilang kalau dia kini jadi penyiar radio. Mami pasti ngelarang. Anak kecil gak boleh kerja, katanya. Nanti ganggu sekolah. "Kalo main film mah boleh, Mami bisa ikutan ngetop," ujar Mami. Ya, Mami cuma bisa ngomong doang ngelarang kerja, tapi gak pernah kasih duit. Mana bisa? ­Dan malam itu, siaran Diary minggu kedua. ­"Ada surat yang masuk, An?" tanya Olga pada Andi, sang operator. Andi menyerahkan beberapa pucuk surat. Olga memeriksa. Cuma satu yang bisa dibaca malam ini. Sisanya, surat tagihan dari tukang siomai, tukang bakso dan tukang tahu. Sialan! Olga pun siap di ruang siar. Wina nguntit di belakang sambil bawa majalah buat baca-baca. "Selamat malam, Anak-anak manis. Di sini Radio Ga Ga 106,1 FM. Belon pada bobo, kan? "Kita ketemu lagi di acara Diary edisi Mei minggu kedua, "Di studio tidak hujan rintik-rintik, tapi dingin. sekali. Di situ dingin, gak? Enggak? Naaa..., ketauan. Pasti gak pake ac. Di kamar Olga juga gak pake ac. Tapi pake ab. Alias Angin Brobos dari jendela..., hihihi." Wina di belakang ikut ngikik. Tapi langsung kena omel Olga, "Hus, lagi siaran langsung nih!" Wina langsung menutup mulutnya. "Sebelum Olga bacain diary dari temen kita..., eng, ya, Dilla di Prapanca Buntu, kita simak aja tembang manis pengamar mimpi buruk... Silence and I dari Alan Parsons Project. Tepuk tangan buat saya... plok-plok- plok!" Lagu Silence and I pun berkumandang sendu. Beberapa menit kemudian, Olga ­mulai bacain diary dari Dilla yang lumayan panjang. Dengan suara lembut, serak-serak becek (gerimis 'kali, becek!). Diary yang haru biru.... ­"Dear Olga, "Malam ini hati saya rasanya sepi banget, O1, Mau ngapa-ngapain kayaknya gak enak. Saya udah coba jalan-jalan, nyari suasana yang enak, tapi hati rasanya enggak bisa diajak kompromi. Kedengarannya sentimentil banget ya, Ol? Tapi, beginilah yang saya rasain sekarang. Sepi, sedih... "Ah. "Kadang, saya suka nyesel, kenapa kita-kita ini harus punya perasaan? Kenapa jadi cewek seperti kita ini gampang banget larut sama perasaan. Coba kalo kita bisa hidup tanpa perasaan, kita kan gak akan pernah kesepian seperti ini. "Rasanya, saya emang pengen ngelupain semua-muanya. Ngelupain apa-apa yang bikin hati ini sepi. T api, kok gak bisa, ya? Apa kita emang harus nerima apa-apa yang dibebankan kepada kita? " Olga, "Semua ini gara-gara Sinta, O1. Teman saya, anak enam belas yang rambutnya suka dikepang. Yang saban ke rumah selalu minta diajarin main basket. "Ah, kalo kamu kenal dia, Ol. ­"Nah, rasa sepi yang saya rasain sekarang emang ada hubungannya dengan dia. Sinta, setelah saya ajarin main basket, akhirnya masuk dalam klub basket saya. Permainannya benar-benar ada kemajuan pesat, dibanding ketika pertama kali dia datang ke rumah saya. Saya bangga juga bisa ngajarin Sinta sampe pinter begitu. Sampe-sampe suka ngalahin saya. Misalnya, waktu klub saya ngelawan klub Sinta. Saya sangat kewalahan berebutan bola dengannya. Dia cerdik sekali. Tapi, alhamdulillah, klub saya tetap seperti biasanya, Jadi Juara. Tapi selisih angkanya dikit banget. Sampe saya sempet tegang juga, Uh, bener-bener seru deh pertandingannya. "Dan, melihat kehebatan Sinta, saya pun menawarkan dia gabung sama klub saya, Soalnya kebetulan Mbak Ita, anggota tertua klub, pengen pensiun. Berhubung doi kini bersibuk-sibuk-ria sama kuliahnya. ­"Sinta pun langsung nerima. Karena dia toh belon keiket banget sama klub basket sekolahnya. Dan saya sama Sinta pun makin erat bersahabat. Karena kita berdua samaan hobinya. Yaitu, kita sama-sama suka gila-gilaan kalo main basket. Pernah sama-sama nyamar jadi cowok, dan ngegabung ke klub basket cowok. Gila, ya? Waktu penyamaran itu, dengan susah payah terpaksa kedua kepang Sinta harus disembunyikan di balik topi, "Dan yang paling klop, kita berdua punya jiwa hura-hura yang lebih besar dibanding jiwa mengabdi kepada bangku sekolah... hihihi, Makanya kita berdua cepat bersahabat. "Oy a mungkin kamu gak tau ya gimana pertama kali saya ketemu Sinta. "Waktu itu, saya lagi maen di lapangan basket sekolah Sinta. Kebetulan aja diajakin seorang temen saya yang sekolah di sana. Terus ketika bubaran maen, saya pun nongkrong di kantin enam belas sambil nyeruput es kelapa muda. Tiba-tiba aja asa makhluk yang lumayan manis nyamperin saya. Tu orang langsung dengan sok akrabnya nyapa saya dan berkicau, "Eh, lo maen basketnya keren juga. Ajarin gue dong! Gue dari dulu pengen bisa main gak bisa-bisa!" ­"Tadinya saya pikir dia cuma ngeledekin saya aja. Makanya dengan cuek bebek saya ngejawab, "Boleh. Kalo lo mao kursus, ke rumah aja, Bayarnya gak mahal. Paling-paling cuma semangkok bakso tiap sore. Oke?" "Dan gak disangka-sangka, tu cewek yang ngaku bernama Sinta bener-bener datang ke rumah saban sore. Merengek-rengek minta diajarin basket. Hihihi..., gokil juga tu anak. Tapi mao gak mao, saya ajarin juga. Dan ternyata dia tekun banget nyimak apa-apa yang saya ajarin. "Saya jadi suka ngajarin dia, Dia ternyata cukup berbakat juga. Soalnya, baru beberapa kali, udah bisa, "Yang nyenengin dari dia, dia itu ternyata orangnya supel banget, Enak buat diajak ngomong, dijadiin sparing-partner kalo lagi ngegosip. Dan yang paling penting, dia hobi banget ngejajanin orang, Maka, kloplah saya sama dia, "Untuk seterusnya, saya emang sering keelihatan bareng-bareng dia. Latihan sama-sama, je je es sama-sama, atau kalo gokilnya lagi kumat, kita berdua suka ngecengin anak-anak teknik yang kuliahnya deket rumah Sinta, Uh, keren-keren, Ol. "Dan terus terang, kita-kita emang suka sekali kalo lagi pertandingan ditontonin cowok-cowok keren model-model Tom Cruise begitu. Semangat bermainnya bisa dua kali lipat. Sebenarnya untuk bisa main basket yang baik itu gak melulu perlu latihan yang keras. Tapi yang diperlukan adalah supporter berupa cowok-cowok keren model-model begitu... hihihi. "Ini teori yang kita-kita dapatin setelah sekian taon main basket, tanpa pernah merebut kejuaraan tingkat nasional. "Tapi inilah yang sekarang membuat saya sedih, Ol. Bukan, bukan karena permainan saya menurun. Tapi..., ah, kalo inget rentetan kejadian itu, saya jadi sebel. Sebel banget. Saya jadi benci sebenci-bencinya sama Sinta. "Gimana enggak, Ol. Kamu kan tau, dulu setiap sebelum pertandingan dimulai, hampir semua cowok-cowok keren itu mengelu-elukan saya. Menyebut-nyebut nama saya. Yah, itu memang karena saya selalu mencetak angka terbanyak dan jadi bintang lapangan. Tapi belakangan ini, segala sesuatunya telah berubah. Saya begitu kaget ketika mereka mengelu-elukan nama Sinta, ketika dia mulai ikut gabung ke klub saya. Pertama sih hanya supporter di deretan depan yang berteriak-teriak norak menyebut nama Sinta. Tapi beberapa menit kemudian, dari seluruh penjuru ikut-ikutan meneriaki nama Sinta. "Saya pandangi Sinta. Sinta nampak malu-malu tapi suka, "Saya hitung-hitung lagi, berapa angka yang telah dicetak Sinta. Apa kini dia bermain lebih baik dari saya? Ternyata tidak, Ol. Saya tetap sebagai top-scorer. Saya masih yang terbaik. Tapi kenapa sekarang Sinta yang mereka elu-elukan? Bahkan ketika akhirnya klub saya yang menang sebagai juara, para supporter makin mengelu-elukan Sinta. Padahal dia cuma memasukkan bola dua kali, "Saya iri? "Mungkin juga, Ol. Tapi siapa yang gak keki? Saya yang mencetak angka terbanyak, yang selama ini jadi pujaan mereka, kini kalah - kharisma sama Sinta. Anak kemarin sore yang justru besar karena saya. Yang baru sekali ini ikut pertandingan di klub saya. Dan yang menyebalkan, anak itu membalas teriakan para supporter dengan melambai-lambaikan tangannya. Seolah dia memang merasa berhak menerimanya. "Saya sebel, Ol. Sampai-sampai saya gak mau, ganti baju sama-sama dia lagi di kamar ganti, "Anak-anak cowok itu aneh ya, Dil, Masa saya yang diteriak-teriakin, Harusnya kan kamu. Kamu yang mencetak angka terbanyak," ungkap Sinta ketika kami selesai bertukar pakaian. "Saya cuma bisa kesal. "Ya, dia tau kalo dia gak berhak menerima elu-eluan itu, tapi kenapa dia seolah menikmatinya? "Dan, Ol, saya hampir nangis ketika salah seorang anak kecil berlari menghampiri kami dan memberikan secarik kertas pada Sinta, 'Ini, Mbak. Ada titipan pesen dari Mas Indra yang di sebelah sana.' "Kontan anak-anak bersorak meledek. 'Kamu kalah, Dilla. Sekarang kamu bukan bintang lagi...' komentar anak-anak. "Hati saya pedih sekali, O1. Kamu tau, lndra tuh cowok terkece yang pernah saya temui. Saya suka sekali memandang wajahnya yang innocent itu. Saya bahkan pernah berharap, suatu kali bisa ngobrol dengannya, Tapi kini..., Sinta malah dengan mudah mendapatkannya. "Olga sayang, saya memang merasa menang dalam pertandingan itu. Tapi juga sekaligus merasa kalah. Kalah bersaing dengan Sinta. Terkadang, Tuhan memang tak adil, ya Ol. Mengapa saya yang susah payah merintis dari bawah, bisa dikalahkan oleh Sinta yang baru saja memulai? Kalau yang menyaingi saya adalah teman-teman lama saya, yang sudah lama bergabung dalam klub, mungkin saya gak akan sekecewa ini, "Saya pikir lagi; Ol. Apa yang kurang dari diri saya? "Tidak. Tidak ada. Saya memang tak kurang suatu apa. Tapi saya lupa, ternyata Sinta punya kelebihan lain. Dia memang lebih manis .dari saya. Dia punya sepasang mata yang bagai mata kucing. Indah. "Apakah itu yang bikin orang-orang mengelu-elukannya? "Lantas, apa hubungannya mata indah dengan bola basket? "Ada satu hal lagi yang saya lupa, Olga. Ternyata memang benar. Penghargaan kebanyakan orang memang bukan pada apa yang dikerjakannya, tapi pada siapa yang mengerjakannya. Kecantikan memang, mau gak mau, tetap nomor satu, "Dan Sinta memang gak salah ya, O1. Sama gak salahnya ketika pas pulang dia berbaik hati mau traktir ayam goreng, tapi saya tolak dengan ketus. Aduh, saya jahat ya, Ol? "Sinta gak salah. Dia tetap baik hati sama saya. Dan saya gak bisa nyalahin dia yang dengan gembira nerima sejuta simpati dari cowok-cowok itu. Terutama dari Indra. Masak ia harus nolak ketika semua orang mengelu-elukannya? Apakah salah kalo dia memang menikmati semua itu? "Dear Olga, "Saya baru ngerasain kalo ada kalanya kita harus mengaku kalah pada orang yang selama ini di bawah. Walau berat, walau gak rela, tapi kenyataan sering memaksa kita untuk mengakuinya. Untuk percaya, Kalau memang fakta sudah berkata, apalagi yang bisa kita sembunyikan? Apalagi yang bisa kita bohongi? Bahkan diri kita sendiri memaksa kita untuk mengaku kalah. "Makin kita menipu diri, makin sakit yang kita rasakan. "Ah, Olga. "Kalau memang suatu saat kita harus mengaku kalah, mengapa kita harus pernah merasa besar hati dengan kemenangan yang pernah kita terima? "Kalau memang suatu saat kita harus menderita, mengapa kita harus pernah merasa berbahagia? Bukankah akan sakit nantinya? " Memang, Ol. Betapa menyenangkan menjadi orang yang gak pernah merasa lebih dari orang lain. Sehingga saat mereka mendapat sukses, kita gak sakit karenanya, "Hari sudah larut, Olga manis. Saya mau bobo dulu, Makasih buat kamu yang udah mau bacain diary saya. Lega rasanya. Besok k'ita cerita-cerita lagi, ya? Tolong doakan, Ol, semoga saya bisa mimpi indah. Semoga keperihan ini sirna saat saya bangun besok pagi. "Sinta nggak salah, Ol. Enggak. Tapi saya tak bisa nipu diri kalo saya benci setengah mati sama dia! ­Dilla." ­Ketika melipat kertas biru muda itu, mata Olga terasa basah. Andi di belakang meja operator pun terlambat memutar lagu penutup. Suasana studio hening sejenak. Sepi... Hanya terdengar suara Wina yang menangis terisak di pojokan. ­­ 4. Vienna JAM istirahat, Olga dan Wina berlari-larian ke kantor guru piket. Biasa..., minta izin pulang pura-pura sakit. Padahal mau ikut acara ngeceng di Radio Ga Ga. Acaranya mulai jam sepuluh di parkir belakang studio yang luas Sayang bener kalo gak ikutan nonton momen yang sangat bersejarah ini! Emang udah rusak banget deh. Mana acaranya lomba ngeceng, mana diadain pas jam-jam sekolah, mana cuma dalam rangka menyambut bulan Februari, wah! Wah! Kenapa gak hari Minggu aja? Ternyata radio lain udah ngadain. Takut keduluan, katanya. jadinya maksa hari Sabtu pagi ini. Katanya, hari Sabtu kan gak begitu diwajibkan sekolah. jadi boleh bolos. Iya, bener juga. Harusnya hari Sabtu dan Minggu libur weekend. Abis saban harinya,pulang sekolah selalu sampe jam tiga siang. Padat bener. Belum kalo ada praktekum. Nah, kebetulan guru piketnya Pak Aleks yang ganjen. Bisa deh dirayu .... "Ada apa nih, mau pulang buru-buru? Baru jam sembilan," ujar Pak Aleks sok galak. "Mau ke dokter, Pak. Ini suratnya .... " Hihihi..., padahal surat itu bikinan si Ade yang tulisannya mirip emak-emak. "Kok ke dokter berdua-berdua?" "Kita sakitnya berdua, Pak." "Kompak nih yaaaa .... " "Aih, Bapak!" Olga kumat centilnya. "Gara-garanya kemaren kita berdua berenang di Pondok Indah. Tau-tau kuping kita kcmasuk- yan air. Dan sekarang jadi gak stereo lagi. Budek sebelah..." "Kaseeeet ’kali gak stereo!" "Ah, Bapak. Ayo dong, minta surat izinnya." "Dih, kok maksa?" Olga tersenyum manis. Wina juga. Disenyumin kayak gitu, Pak Aleks jadi kebat-kebit. Tangannya langsung mengeluarkan surat izin, dan corat-coret di situ. Olga dan Wina dengan cepat menyambar surat izin yang sudah ditandatangani Pak Aleks itu. "Eeee. . ., tunggu dulu. Pada mau balik lagi, gak? Kok bawa tas?" "Balik, tapi hari Senin nanti. Makasih, Paaak. Daaaag!" Olga dan Wina berlarian sambil melambai. Langsung menuju sedan mungil Wina yang terparkir di bawah pohon. . Sepuluh menit kemudian, Olga dan Wina yang sudah berada di lokasi ngeceng. Wah, ternyata rame juga. Pertandingan belum dimulai. Baru pembagian minum, snack, dan kaos dari sponsor. Olga dan Wina memilih tempat di depan. Supaya bisa liat dari deket. "Ol, Ol, lo yang bawa acara, ya?" teriak Mbak Vera begitu ngeliat Olga datang. "Gak mau, ah! Mbak aja. Nanti gak bisa konsentrasi nih liat cowok-cowok kerennya." "Dasar!" Olga dan Wina langsung mau kabur. "Eeee, tunggu dulu, Ol. Tadi pagi ada yang nyariin kamu lagi tuh. kayaknya yang, dulu-dulu juga. Kamu masih ngutang siomai, 'kali!" "Enggaaak. Udah ah, Mbak. Olga mau ke sana dulu. Daaag!" Acaranya pun dimulai. "Yaa. .., inilah dia peserta pertama..., dengan busana model orang mau mandi... plok--plok!" Olga dan Wina tertawa geli. Ya, soalnya yang muncul pertama ternyata si Sobirin Sableng, dengan bertelanjang dada, celana dililit handuk, dan membawa gayung yang full sikat gigi dan sabun. Ekspresinya serius bener. Bikin orang geli. Peserta selanjutnya, baru muncul cowok dan cewek keren. Pokoknya gak rugi deh Olga duduk di depan. Matanya jelalatan ngeliat tampang-tampang model cover girl dan cover boy kayak gitu. Acara berlangsung kira-kira tiga jam penuh. Duduk di tengah terik mentari. Tapi enak. Anget. Sampai pada pengumuman juara pertama. Ceweknya dimenangkan oleh... Vienna! Horeeee... . Katanya, Vienna ini anak baru di Jakarta, pindahan dari Ujung Pandang. Cowoknya: Shandut! Horeee jugaaaa! Olga dan Wina pun berdecak kagum ketika Vienna muncul di atas panggung. Wah, sebagai cewek pun Olga kagum setengah mati ama kemanisan tu' cewek. Bener-bener mirip boneka. Dandanannya juga paling nge-trend. Kontan cowok-cowok yang hobi nyosot dan gak bisa ngeliat barang bagus, pada rebutan motret. Klik-klik-klik. Termasuk para kru penyiar Radio Ga Ga yang ganjen-ganjen. Vienna jadi ngetop mendadak hari itu. Semua bibir membicarakan dia. Termasuk Olga dan Wina. "Aih, kalo gue cowok, udah gue pacarin!" ungkap Olga. "Iya. Kece berat, ya? Coba gue cakep kayak dia..., wah, pasti si Ronni ngebet setengah mati ama gue...," *** ­Saat itu lagi pelajaran Bahasa Inggris. Olga lagi sibuk surat-suratan sama Rodi, yang duduk dua kursi di depannya. Tuk! Kertas yang digulung-gulung kecil oleh Olga, mengenai kepala Rodi, cowok indo Australia yang punya alis tebel itu. Rodi menoleh ke belakang, Olga memberi isyarat dengan tangannya. Rodi ngerti dan segera memungut kertas Olga, dan dibaca dalam hati: ­Rod, demi T uhan. Kamu manis betul hari ini. Bagi coklatnya, dong. Ayoo..., dari sini keliatan ada coklat Toblerone di laci kamu, ­Olga ­Rodi tersenyum, dan membalas di balik kertas mungil itu: ­Olga yang malang, Sayang, rayuanmu gak ada artinya hari ini. Kamu tau, Senin kemaren, waktu kamu bolos sama Wina, ada anak baru. Kecenya minta ampun. Kamu jelas lewat. Nah, Toblerone ini untuk dia. Gue udah janji mau nganter dia pulang sekolah... hihihi. ­Rodi ­Olga sewot. Dasar pelit! Tapi Olga juga penasaran. Siapa sih anak baru itu? Pas lagi sibuk misuh-misuh sama Rodi tiba-tiba Olga ngeliat ada cewek manis lewat di depan jendela kelas. "Eh, Win. Itu kan si Vienna yang menang lomba ngeceng kemaren?" ueap Olga sambil menowel bahu Wina. "Mana? Oh, iya.." Dan suasana yang hening mendadak ramai. Cowok-cowok kelas Olga pada suat-suit ke jendela. Yang kasihan ya Vienna itu. Lagi tenang-tenang jalan sendirian, mendadak kaget. Kontan aja dia ngibrit. Anak-anak jadi pada ketawa. Rodi, setengah berteriak pada Olga, "Itu, Ol, cewek baru yang gue ceritain!" ­Peristiwa selanjutnya, wah bisa dibayangin sendiri. Guru Inggris yang hobi meringis itu nangis sambil marah-marah. Memukul-mukul meja sambil ngomel-ngomel dalam bahasa Inggris yang anak-anak gak ngerti, "jhxx waxfdg sblb xegv yjsahymdbb!" Namanya gak ngerti, ya wajar aja kalo anak-anak tetap ribut. ­*** ­Waktu ke1uar main, anak-anak pada berebut keluar. Kayak anak playgroup. Gak usah heran, kalo ada anak baru cewek nan kece, pasti kelakuan cowok-cowok jadi pada minus semua. Si cewek diperkirakan, menurut prakiraan cuaca, bakal lewat sini lagi. Biasa, ke wc. Anak itu hobi banget ke we. Tau deh, ngapain. Mungkin ngebom, mungkin karena kelincahan kayak bola bekel. Hingga bawaannya pengen pipis melulu. Na..., bener, kan? Dari jauh udah keliatan cakepnya. Anak-anak cowok pun mulai pasang aksi. Rodi terutama. "Halo, Vienna, mau ke mana nih? Saya anterin, yuk?" Yayo nyamber duluan. Wah, norak betul tu anak. Masak mau ke wc dianter? "Mampir dulu dong, kok buru-buru?" ujar yang lain. . . "Aduuh, bagaimana, ya? Saya mau pipis dulu. Nanti aja deh mampirnya," ujar cewek itu lembut. Anak-anak cowok kontan pada berseru "Aduuuuuh, merdu amat suaranya?" Olga suka juga ngeliat kelakuan anak-anak yang norak-norak bergembira itu. "Vien, jadi pulang bareng saya, kan? Jadi, kan? Tadi pagi pan udah janji?" Rodi melancarkan serangan. "Saya udah siapin coklat Toblerone, nih!" Vienna tersenyum mengangguk. Temen-temen pada iri. Wah, gak bisa! Gak bisa dong! Dan pulang sekolah, Vienna emang jadi bahan rebutan. Ditarik ke sana-kemari. Semua berebut ingin mengantar, Olga yang kasihan, mengajak Vienna pulang bareng mobilnya Wina. "Ikut kita aja, Vien. Aman. Daripada ikut bandot-bandot tua yang pada gak tau diri itu," ajak Olga, dari jendela Wonder kuningnya Wina. Vienna seperti mendapat bala bantuan. Langsung naik ke mobil Wina. ­Anak-anak cowok pada bengong. Begitu sadar, Wonder Wina sudah melaju meninggalkan debu tebal, membawa pergi bidadari. Anak-anak cowok itu kontan memaki-maki Olga. Olga, Wina, Vienna, tertawa tergelak-gelak. "Eh, Vien, kamu yang juara lomba ngeceng waktu Sabtu itu, kan?" tanya Olga, ketika Wonder sudah melaju tenang di jalan raya. "Kok tau?" "Lho, saya kan penyiar di Radio Ga Ga situ. " "Ooo..., asyik dong!" "Iya. Nama saya Olga, dan ini Wina, supir pribadi saya." "Enak aja!" Wina menjitak kepala Olga. ­*** ­Hari-hari berikutnya, banyak kejadian seru terjadi, Dalam empat hari saja, Vienna langsung naik daun, menduduki ranking teratas cewek top di sekolah Olga, Banyak cowok yang berebut mengantarkan dia pulang, Dan Vienna selalu bersikap baik, ramah, pada setiap orang. Itu yang menyebabkan dia jadi disukai. Senyum manisnya milik semua orang. Dia begitu mempesona. ­Olga segera menyarankan pada Mbak Vera untuk mempertimbangkan Vienna jadi penyiar di Radio Ga Ga. "Vienna yang juara pertama lomba ngeceng itu?" "Iya. Suaranya cukup keren. Pasti bakal banyak penggemarnya. Radio kita bakal tambah beken." "Boleh, kapan-kapan kamu ajak aja dia kemari. Sekalian tes vokal." ­*** ­Olga lagi sendirian di ruang studio. Gak ada mood untuk siaran. Dua hari terakhir ini dia gak pernah ngeliat Vienna di sekolahan lagi. Menyebabkan dia bertanya-tanya. Rodi dan cowok-cowok lainnya pun seperti kehilangan. Kehilangan semangatnya saat keluar main, saat bubar sekolah. Saat bisa ketemu Vienna yang bagai bidadari. Kehilangan semangat untuk berlomba, semangat belajar. Dan Olga, kehilangan suasana ceria, suasana saat dia bisa menikmati teman-teman cowoknya berebut untuk menarik perhatian Vienna. Olga suka ngeliatnya. Olga menikmati. Dan dia juga sudah menjalin persahabatan dengan Vienna, bersama Wina. Mereka bertiga, jadi sering pulang bareng. Tapi mungkin nanti-nanti, Vienna tak pernah masuk sekolah lagi. Tadi pagi Ro­i yang membawa berita buruk itu. Berita yang, demi Tuhan, Olga harap cuma gosip murahan. Tapi Rodi bisa dipercaya. Dia gak suka mengumbar gosip. "Ini bukan gosip. Anak-anak semua udah pada tau." Ya, Vienna memang tadi masuk sekolah lagi. Tapi bukan Vienna yang dulu. Bukan Vienna yang penuh pesona. Dia masuk lagi dengan coreng di mukanya. Saat Vienna lewat di depan kelas, semua malah masuk ke dalam, menghindar, dan memandang jijik ke arahnya. "Ah, dia sudah gak suci lagi!" ujar Bob yang biasanya getol godain. Rupanya beberapa hari saat dia tak masuk sekolah, dia diajak beberapa cowok bermobil ke Puncak. Cowok-cowok jet-set yang gak dikenal, mungkin dari sekolah keren lain. Dan seterusnya, Olga ngeri ngebayangin.... Dan pagi itu juga, sekolah Olga memutuskan akan mengeluarkan Vienna. Ah, Olga gak habis pikir. Kenapa Vienna tega menghancurkan masa depannya sendiri? ­Dia telah menghancurkan pesonanya di mata cowok-cowok lain. Kenapa begitu mudah? Seminggu yang lalu, dia datang dengan pesona yang luar biasa, dan kini dia pergi dengan penuh noda. Hanya seminggu dia dapat mempertahankannya. Mungkin dia menyesal. Olga sempat melihat itu di sinar matanya, ketika lewat di jendela kelas. Ketika semua mata memandang hina ke arahnya. Dia menangis. Tapi, apa artinya menyesal? Apa gunanya menangis? Dan bukan salah mereka, kalau kini tertawa mengejekmu. Toh, mereka juga sebetulnya kecewa. Kecewa oleh perbuatanmu. Seperti juga Olga. Yang pernah ingin jadi sahabatmu, Siapa yang bertanggung jawab atas masa depan kita kalau bukan diri kita sendiri? ­*** ­Olga baru aja nyelesein tugas siarannya dengan malas, ketika Mbak Vera nemuin dia sambil berbisik, "Ol, udahlah, jangan sedih. Vienna mungkin bisa jadi pelajaran buat kamu. Yang penting sekarang, cowok yang suka nyari-nyari kamu dateng lagi tuh. Pacar, ya?" ­"Ngaco! Siapa sih?" Olga bertanya malas. Tapi penasaran, pengen tau juga. Kali aja lumejen. "Liat aja sendiri. Dia udah nunggu dari tadi di ruang tamu. Saya bilang kamunya lagi siaran, tapi dia mau nunggu." Olga buru-buru merapikan kertas order dan segera menghambur ke ruang tamu di mana telah menanti seorang jejaka penuh misteri. Lewat lubang kunci Olga mengintai sejenak, tapi wajah perjaka itu gak keliatan jelas. Kealingan asbak! (Sori, asbaknya kan asbak raksasa.) Karena penasaran, Olga nekat ngablakin daun tel.. eh, daun pintu. Ya, amplop! Olga seketika nyebut. But, but, but. Ternyata face-nya out of focus. Abstrak banget. Belon sempat Olga mengatupkan mulutnya lamaran kaget, si jejaka itu serta-merta menyambut hangat tangan Olga. "Oh, Olga..., aye Somad bin Indun. Aye penggemar fanatik. Aye udah lama banget pengen ketemu ama situ, tapi baru sekarang bisa kesampean. "O, iye, sengaja aye bawain duren dari kebon tetangga. yang kebetulan mateng di poon. Duren ini buat situ semua. Anggap aje tande perkenalan kita." ­Olga gak bisa ngomong apa-apa. Sementara Mbak Vera di balik kaca, ngikik berat. "Kalo situ kagak keberatan aye bersedia jadi pendamping situ. Ee, maksudnye jadi pacar, gitu. Aye betul-betul demen banget ama suara situ. Merdu dan lembut. Aye yakin kalo situ mau belajar nyanyi khosidah, Maria Ulfah pasti tewas. "Eh, situ mau, kan?" Olga bener-bener gak tau apa yang mesti diomongin. Hati kecilnya kesel campur terharu. "Kok diem? Kate enyak aye kalo diem, tandanya mau." Hah? ­ 5. Gak Siaran Lagi? Ah... ­JEBLOK lagi! Olga memandangi hasil ulangan fisikanya dengan masygul. Masa dari sepuluh soal yang diberikan Pak Juhana, cuma empat yang dijawab dengan betul. Selebihnya amburadul. Olga tersenyum kecut. "Wah, bakal kena damprat lagi dari nyokap," gerutu Olga. Padahal kemarin udah kena damprat gara-gara ulangan PSPB yang dapat kosyong! Olga bener-bener takut ngebayangin maminya marah-marah. Belum lagi Mami suka cerita-cerita ke tetangga. Kan malu. Kadang-kadang Olga begitu keki sama si Mami yang nggak bisa jaga privacy anak. Tapi kalo dipikir-pikir, Olga salah juga. Belakangan ini nilai ulangannya memang anjlok berat. Kayak ulangan. fisika tadi, nggak biasanya Olga dapat nilai empat begitu. Biasanya kan dapat tiga. Hihihi... Olga tau, pangkal penyebab semuanya karena ia sering siaran malam. Akhir-akhir ini jadwal siaran Olga memang padat banget. Ia dipercaya oleh Mbak Vera untuk mengasuh beberapa acara malam hari. Selain siaran diary, ada juga acara T2M (Tembang-tembang Malam) dan NNK (Ngilik-Ngilik Kuping) yang harus ditangani Olga. Sebetulnya semua bukan cuma keinginan Mbak Vera semata. Mbak Ver sih cuma ngikutin maunya pendengar. Suara Olga yang serak-serak becek itu ternyata banyak disukai pendengar. Banyak surat yang masuk ke studio memuji suara Olga. "Suaranya polos," begitu sanjung mereka. Somad malah nulis yang lebih dahsyat lagi, "Suara Olga persis suara peri yang bisa membangkitkan gairah hidup." Gak perlu diusut apa Somad pernah denger suara peri. Yang jelas, seperti halnya Somad, semua pendengar yang terpikat karakter suara Olga minta jadwal siaran Olga ditambah. Jadi bisa sering-sering denger. "Kalo enggak, saya gak mau denger Radio Ga Ga lagi," begitu ancam mereka. Somad malah ngancem gak mau bayar pajak segala. Mbak Ver jelas kelabakan. Satu-satunya jalan Mbak Ver terpaksa meminta pengertian Olga untuk menambah jatah siarannya. Kalo bisa warta berita pun dia yang ngebacain.. . Sebetulnya Mbak Ver kasihan sama Olga. Dia kan masih kecil, masih sekolah, gak semestinya kerja sekeras itu. Tapi apa boleh buat. Inilah risiko kalo lagi naik daun. Bintang Olga emang lagi bersinar terang di Radio Ga Ga. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Olga sendiri sesungguhnya keberatan jadwalnya ditambah. Tapi ia juga gak bisa menolak kemauan pendengar. Apalagi kalo dipikir, ini semua hasil dari kerja mati-matian dia di Radio Ga Ga. Karirnya menanjak. Mendobrak dominasi si Ucup, penyiar senior yang juga banyak punya penggemar. Uang saku yang ia terima membengkak. Lebih dari itu, Olga merasa bisa diterima masyarakat. Bisa jadi sobat-sobat mereka yang kesepian. Sayang kan kalo dibuang begitu aja. Akhirnya Olga menerima bujukan Mbak Vera. cuma akibatnya pelajaran sekolahnya jadi terganggu. Waktu belajar tersita buat siaran. Olga bener-bener gak bisa konsentrasi buat baca-baca buku. Memang sih acara malam hari yang diasuhnya cuma dua kali dalam seminggu. Tapi untuk siang, Olga memandu tiga mata acara. ­Dan biasanya waktu yang kosong dipergunakan buat nyari bahan siaran supaya menarik. "Oi!" Olga kaget waktu bahunya ditepuk. "Ngapain lo bengong, Ol?" tanya Wina. Olga langsung menyeret Wina ke kantin. "Gue lagi punya masalah nih, Win." ­*** ­Udah lama Mami curiga dengan kebiasaan Olga yang sering keluar malam. Ngakunya belajar bersama, tapi kenapa nilai ulangannya pada jatuh? Saat siang pun Olga sering telat pulang ke rumah. Kalo pulang pasti langsung tidur. Keliatannya capek banget. Tambahan lagi tu' anak jadi jarang banget minta duit. Padahalnya di kamarnya banyak bermunculan pernik-pernik baru, seperti jam dinding, boneka, kaset-kaset baru, anting, jepit, aksesori, stationery, rompi dan sederetan baju yang rasanya nggak pernah Mami beliin. Pasti ada yang gak beres. Apa Olga masih aktif jadi figuran? Ah, kayaknya enggak. Filmnya udah beredar, dan gak sukses di pasaran. Diam-diam Mami menyelidiki. Kayak detektif Hunter. Kalo mau, Mami emang bisa aja langsung nanya ke Olga. Tapi pasti anak itu ngebo'ong. Udah pernah sih dicoba, ketika Olga datang ke Mami minta paraf ulangan kimianya yang jeblok. "Kenapa angka-angkamu bisa ludes begini, Ol?" tanya Mami sambil mengamati hasil ulangan Olga, "Dulu kamu lumayan dibanding papimu." "Belon mujur 'kali, Mi," jawab Olga sekenanya tanpa menoleh ke Mami. Mami ngelirik Olga lewat tepi kertas. Ngeliat Olga yang salah tingkah. "Belakangan ini kamu sering keluar malam. Siang juga jarang di rumah. Ke mana aja sih?" Mami terus membombardir. "Kan belajar, Mi." Olga beringsut menuju kulkas. Mengambil air dingin buat menyegarkan tenggorokkan yang rasanya getir. "Belajar bersama kok nilainya bisa jeblok begini?" "Abis yang dipelajarin lain sama yang keluar di ulangan, Mi...." "Lain bagaimana?" "Begini, Mi. Kalo malamnya belajar fisika, eee... besoknya yang ulangan malah pelajaran menggambar. Pas lagi belajar menggambar, yang keluar matematika...." ­Mami mengernyitkan dahi. "Emangnya kalo mau ada ulangan tak diberitahu dulu sebelumnya?" "Itulah, Mi. Guru-guru zaman sekarang kan lagi ikutan trend. Hobi banget bikin kejutan. Sekarang semua serba kejutan. Hadiah lima juta rupiah, hadiah tipi ful-kolor, naiknya tarip jalan tol, ah udah ah, Mi. Olga mau bobok. Capek nih!" Mami manggut-manggut. Olga pasti bo'ong. Kentara dari idungnya. Maka siang itu Mami lebih suka tanya ke teman-teman Olga mengenai kegiatan Olga akhir-akhir ini. Baru dari Diah sama Tinet Mami mendapatkan jawaban yang dikehendaki. "Jadi Olga kerja sebagai penyiar?" "Iya, tante." "Di radio apa tadi? Ba Ba? Sa Sa? Da Da?" "Radio Ga Ga, Tante." "O, iya, Radio La La, sampe lupa." Diah dan Tinet ngikik. Mami kesenangan. Dan minta diri. "Eh, Tante, nanti jangan bilang ke Olga kalo kita-kita yang ngasih informasi ya?" "Sip-lah!" *** ­Ketika bel istirahat kedua berdemang, Wina menemui Olga di kantin. "Kemarin Mami lo ke rumah gue, Ol!" tukas Wina sambil memesan es jeruk. Siang teras a panas. Suara tahu mendesis di penggorengan Bu Kantin. Olga mengaduk-aduk baksonya. Tapi gak memberi reaksi pada apa yang dikatakan Wina. "Terus dia tanya-tanya, apa bener kita sering belajar bersama? Apakah benar guru-guru di sekolah suka bikin kejutan? Apa benar kamu belajarnya di rumah gue? Apakah kamu ingat pada ibumu? Eh, sori ngaco. kebanyakan baca komik si Gully, sih. Hihihi­... Wina terus nyeroeos, "Dan seperti ikrar kita, tentu aja gue bilang bener." Wina menerima es jeruknya. Olga tetap gak memberi reaksi. "Kok lo diem aja, Ol?" "Gue udah tau," tukas Olga pendek. Wina mengerling. Dan menyeruput es Jeruknya. "Lalu?" tanya Wina sambil mengelap bibirnya. "Lalu? Lalu gue kena marah. Kayaknya nyokap gue dapet info dari orang lain." "Terus?" ­"Terus? Terus gue disuruh brenti jadi penyiar." "Lantas ?" "Lantas? Lantas gue nolak." "Akhirnya." "Akhirnya? Sekarang gue yang nanya. Lo yang jawab. Kalo cuma begitu reaksinya, gue juga bisa!" sungut Olga. Wina ngikik. "Pokoknya gue gak bisa brenti jadi penyiar. Ini soal prinsip. Lagian gue udah cocok jadi penyiar. Ini karir gue, Win. Gak ada salahnya membina karir sejak kecil. Biar gedenya gak gugup." ­*** ­"Tapi kamu harus sekolah, Olga!" mami-nya kembali menyulut api pertikaian begitu Olga pulang sekolah. Pertikaian kemarin memang masih draw. Belum ketauan siapa yang menang. Belum ada keputusan. Olga masih bersikeras gak mau ninggalin pekerjaannya. Sementara Mami begitu ngotot meminta supaya Olga konsentrasi ke pelajaran sekolah aja. Mami gak salah. Karena Mami yang membiayai Olga. ­Olga juga gak sepenuhnya salah. "Karena Olga udah capek-capek membina karir jadi penyiar. Masak giliran karir Olga nanjak, Mami mau nyuruh stop begitu aja?" "T api kamu masih kecil. Masih perlu belajar. " "Olga kan gak brenti sekolah." "Iya, tapi nilai ulanganmu jelek. Toh kamu gak bisa ngatur waktu dengan baik." "Olga bisa memperbaiki." "Tapi Mami gak setuju kamu jadi penyiar. Mami masih mampu ngasih kamu makan." "Ini bukan soal ngasih makan atau nggak. tapi Olga harus punya keterampilan. Olga harus bisa mandiri. Gak ada salahnya belajar kerja dari kecil. Pelajaran kan gak cuma di dapat di sekolah aja. Di luaran juga bisa. Olga sekarang juga lagi belajar. Di Jepang aja sejak anak-anak udah diajari tanggung jawab." "Lho, kok pake ke Jepang segala?" "Biarin. Gak bayar ini!" Olga mulai sesunggrukkan. Mami juga hampir ikut-ikutan. Bik Inah yang mengintai peristiwa ini dari balik pintu dapur teriak kegirangan. Pake berbalet-ria segala. "Hi..., seru, nih!" tepuknya. Mami yang sekilas menyaksikan tingkah laku Bik Inah jadi keki. Dengan sigap Mami ­buru-buru mencopot bakiaknya, dan menimpukkannya ke Bik Inah. Tepat mengenai jidatnya. Mami yang sekarang kegirangan. "Kembali ke duduk persoalan. Atas nama kebenaran, mulai detik ini, Mami ngelarangkamu ke Radio Ba Ba lagi!" "Ga Ga, Mami," ralat Olga. "Iya, Ka Ka." "NGGAK BISA!" jerit Olga. "HARUS BISA!" jerit Mami. ­*** ­Esoknya ternyata Olga masih tetap siaran Tentu secara sembunyi-sembunyi. Padahal Mami udah super-ketat mengawasi. Sekolah dianter-jemput. Tapi dengan tipu kadalnya Olga bisa mengelabui Mami. Kalo pas hari siaran, Olga menyelinap lewat belakang sekolah yang pagarnya udah dobol. Tinggal Mami nungguin sampe keriting. Malam itu juga. Walo semua jendela udah digembok, Olga masih tetap bisa keluar lewat genteng. Merayap-rayap persis maling kabel. Mami yang udah gak tahan lagi dengan kebandelan Olga, ngadu ke Papi. Papi yang mendengar semua penuturan Mami, cuma manggut-manggut. ­"Papi harus ngelarang Olga!" usul Mami, "Sama Papi mungkin dia takut." "Olga kan kayak kamu, Mi. Gak pernah takut orang." "Gimana kalo kita besok dateng aja ke Radio Ta Ta, mima supaya Olga di nonaktifkan?" . "Nggak salah kamu, Mi? Rasanya Papi belon pernah denger ada Radio Ta Ta?" "Mami gak pernah salah, emang Radio Na Na, kok!" "Tapi Mami jangan keburu napsu datang ke sana. Kayak anak kecil aja. Lebih baik kita urusan sama Olga aja. Kita ajak rembukan. Kepentingan kita kan sama Olga. Radio Eha Eha kan gak salah apa-apa." "Tapi anak itu susah diajak rembukan!" "Mami mungkin yang terlalu keras." "Papi ini gimana, sih? Kok seperti ngebelain Olga?" "Papi nggak ngebela siapa-siapa." "Sikap Papi sendiri gimana dengan kelakuan Olga?" "Kalo emang Olga punya argumentasi yang tepat, Papi sih setuju-setuju saja. Percuma dilarang. Olga biar menemukan sikapnya sendiri. Anak sekarang kalo dilarang malah jadi senewen." Papi menyulut rokoknya. ­"Sekarang mana anaknya?" "Sebentar lagi juga dateng. Dia tadi ngebo'ongin Mami lagi." Pukul sembilan malam Olga baru pulang dari Radio Ga Ga. Papi langsung memanggil Olga. "Sini kamu, Ol." Olga nurut. "Kamu kelihatan pucat. Kurang tidur, ya? Olga mengangguk. "Papi tau sekarang kamu jadi penyiar. Papi suka kamu bisa bekerja. Jadi bisa ngirit duit Papi. Kamu memang harus punya keterampilan. Tapi Papi gak setuju kalo kamu lantas menyepelekan pelajaran sekolah." "Olga gak menyepelekan pelajaran sekolah Pi. Abis jadwal siaran Olga padat." "Kamu kan bisa minta dikurangi?" "Justru itu masalahnya. Sebenernya Alga tau sekarang lagi musim ulangan pra-semester. Olga udah minta ke mbak Vera supaya jatah siaran Olga dikurangi. Tapi gak bisa. Soalnya yang minta jadwal siaran Olga ditambah adalah pendengar. Mereka suka sama gaya dan suara Olga. Terus-terang Olga gak bisa nolak, Pi." "Tapi sekolah kamu lebih penting, Ol." "Olga tau sekolah lebih penting. Tapi ini juga penting. Olga merasa berarti di sini. ­Dibutuhin orang. Banyak hal bermanfaat yang gak bisa didapetin di sekolah, Olga dapetin di situ. Olga bukan mau ngecilin arti sekolah, tapi Papi pasti tau berapa banyak lulusan sekolah yang akhirnya menganggur karena gak punya keterampilan. Sekolah cuma ngajarin orang supaya pinter, bukan supaya bisa kerja. Nah, Olga gak mau begitu. Olga mau dua-duanya. Pinter dan bisa kerja. Kalo sekarang sekolah Olga kelihatan kedodoran, itu cuma soal waktu. Olga belon bisa menyesuaikan diri antara siaran dan belajar. Sebentar lagi juga Olga bisa ngatasin. Mami dan Papi gak usah khawatir. Bisa aja kan Olga sambil bawa buku sekolah ke Radio Ga Ga." "Gimana, Mi? Alasan Olga kayaknya cukup masuk akal?" Papi ngelirik Mami. Mami keliatan sewot. Masih gak rela. "Pokoknya Mami tetap ingin Olga sekolah dulu. Biar pinter. Kalo udah pinter nanti lulus. Jadi sarjana. Kalo udah jadi sarjana pasti diterima kerja." "Lho, sekarang ini apa Olga bukan kerja namanya ?" Mami gelagapan. Papi ketawa. "Tapi perlu direnungkan dulu, Ol, soal usul Papi agar kamu mengurangi jadwal siaranmu. Saat orang pada suka sama kamu, jangan terlalu diumbar. Nanti mereka akan cepat bosen. Dan apa yang ada pada diri kamu pun akan cepat habis. Kamu lantas ditinggalkan. Jadi, tahan-tahan dikitlah, biar pada penasaran, Jangan puaskan seluruh emosi pendengarmu. Biarkan mereka selalu menunggu-nunggu pemunculan kamu terus. "Kamu paham, kan?" Olga mengangguk gembira. "Trims, Pi." *** ­Malam berikutnya selagi rumah sepi, pelan-pelan Mami ngegotong radio ke dalam kamar. Papi udah tidur. Mami kemudian memutar 106,1 FM buat ngedengerin acara Diary. Suara Olga memang bagus. Tanpa sadar Mami menitikkan air mata. Memeluk Papi erat-erat.... ­ 6. So Mad the Boy ­WINA itu pengkhianat. Gimana gak dibilang pengkhianat, coba. Meski cewek itu sobat kental Olga, tapi dia sama sekali gak pernah mau dengerin Olga Siaran. Alasannya, "Bosen. Tiap hari juga gue denger lo ngocol di kuping gue. Ngapain pake acara dengerin lo siaran segala? Amit-amit...." Coba itu! Pake ditambah "amit-amit" lagi. Jelas dong kalo Olga jadi keki berat sama si Wina ini. "Padahal lo kan kalo abis nganter gue siaran, selalu gue traktir nasgorkam!" "Ah, itu kan emang udah perjanjian kita." "Iya, tapi lo sekali-sekali denger kenapa sih? Kan gue sering kirim-kirim lagu buat lo." "Ah, lagunya gak bonafid." Nah, ketauan kalo si Wina ini mulai mengada-ada. Gimana gak bonafid, kalo lagu-lagu yang ada di Radio Ga Ga langsung dipesan dari States sana. Dalam bentuk compact disc lagi. Ah, dasar Wina sirik. Selidik punya selidik, ternyata si Wina ini maniak sama acara-acara berhadiah yang digelar di berbagai radio. Seperti yang di Prambors, SK, Mustang, dan lain-lainnya. Mungkin obsesi karena dia masang KSOB gak pernah dapet. Jadi saban ada acara berhadiah di radio, dia selalu stand by di samping teleponnya, sementara kuping yang sebelah lagi menyimak ke siaran radionya. Dan alhamdulillah, sampe sekarang Wina belum pernah dapat hadiah barang sepeser pun. Tapi dia gak pernah putus asa. Sebab dia suka keki sama Olga yang sering dapet duit dari Radio Ga Ga buat beli macem-macem. Olga juga tau, Wina sering ikutan acara Texas di Radio Prambors. Acara unik, yang cara bermainnya, barang siapa yang dihubungi Prambors lewat telepon, harus berteriak: "Yihaaa...," tanpa boleh mengucapkan sepatah kata pun sebelumnya. Nah, pas jam-jam Texas, seperti biasa Wina menggotong radionya ke dekat telepon. Setelah itu dengan hati berdebar-debar, Wina menunggu telepon dari Prambors. Begitu setianya ia menunggu, sampai tertidur sambil memeluk mesra radionya. Olga yang belakangan emang sengaja pengen ngerjain si Wina, lantaran keki banget sama ulah tu anak, diam-diam memutar nomor telepon rumah Wina dari studio Radio Ga Ga. Kriiiing, telepon di rumah Wina berdering. Wina terkejut. Radionya melompat ke karpet dari dekapannya. Sejenak dia bengong. Biasa, orang abis bangun tidur kadang suka gak sadar dulu beberapa menit apa yang harus ia lakukan. Kriiing, telepon berdering lagi. Begitu ngeliat radio di karpet yang bunyinya udah tinggal kresek-kresek, Wina baru sadar kalo ia lagi nungguin hadiah Texas. Ia pun deg-deg-an. Wah, jangan-jangan telepon dari Prambors. Ah, akhirnya gue dapet juga! Dan dengan hati-hati, Wina mengangkat gagang teleponnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia menunggu. Suara di ujung sana pun hening. Seperti menunggu. Tak ada sapaan apa-apa. Ah, ini pasti pancingan. Supaya gue terpancing ngomong duluan, batin Wina. Wina udah pasti banget. Maka dengan stil yakin, ia pun menjerit sekeras-kerasnya, "Yihaaaaaa!" Dan meledaklah tawa Olga di ujung telepon sana. Hahahaha... Wina bengong. Begitu tau kalo ternyata itu telepon dari Olga, ia langsung membanting gagang telepon dengan kesal, "NGGAK LUCU!!!" jeritnya keras sambil misuh-misuh. Sementara Olga masih terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Akhirnya, kena juga si Wina gue kerjain! ­*** ­Olga lagi duduk di kantin studio yang full musik, memeriksa tumpukan naskah Diary, ketika seorang cowok datang menghampiri. Alunan lagu Here I Am dari UB40 membuat ujung jempolnya asyik menari-nari. "Olga, ya? Saya suka banget denger suara kamu kalo lagi siaran," sapa cowok itu sambil mengambil tempat duduk di depan Olga. "Saya juga," sahut Olga pendek, sambil tetap memeriksa naskah-naskahnya. Cowok itu membaca daftar menu yang ada di meja, lalu memesan es krim vanila sama donat kepada pelayan yang sigap mencatat di nota mungil. "Eh, babi kan haram, ya?" tanya Olga tiba-tiba. Cowok tadi, merasa ada perhatian dari Olga, jadi semangat nanggepin, "Emang kenapa, Ol?" "Iya, babi kan haram, ya?" "Iya. Kenapa?" ­"Kok Pak Haji memelihara anaknya, sih?" "Ah, masa. Memelihara anak babi?" "Bukan. Anaknya sendiri," sahut Olga sambil kembali asyik memeriksa kertas-kertasnya lagi. Cowok itu bengong sejenak. Lalu setelah sadar, ia memaki-maki dalam hati. Ngeliatin wajah Olga yang sama sekali gak merasa berdosa. Tapi, manis betul anak ini. Alisnya itu lho, jadi satu di dahinya. "Gila! Semua surat yang masuk pasti tentang putus cinta. Apa gak ada topik yang lebih menarik selain cinta, jatuh cinta, dan putus cinta!" gerutu Olga tiba-tiba, sambil meletakkan kertas yang terakhir dia baca. Ia pun menyeruput milkshake-nya. "Eh, Mas, jam berapa sekarang?" Cowok itu ngelirik ke pop-swatch-nya, "Jam setengah lima lewat." "Setengah lima lewat? Wah-gila. Sori, ya, gue tinggal dulu." Olga buru-buru membereskan kertas-kertasnya. "Kamu bayarin dulu, ya?" "Eh -Olga..." Tapi Olga udah ngilang di balik pintu keluar. Hampir bertubrukan dengan Mbak Vera yang sibuk membawa piring kotor bekas makan siomai. "Eh, Ol, mau ke mana?" ­"Anu, Mbak, ada perlu sebentar!" ujarnya sambil me1etakkan kertas-kertas di atas mejanya, lalu masuk ke kolong nyari sepatu roda. "Lho, bentar lagi kan kamu harus siaran?" "Bentar kok, Mbak. Mbak Vera pegang aja dulu acaranya, ntar Olga juga balik," katanya buru-buru. Lalu, di pintu keluar, ia bengong melihat tangannya yang kembali membawa kertas-kertas sialan yang tadi ia baca. Aduh, kok kertas ginian pake dibawa-bawa segala? "Eh, Mbak, tolong titip kertas-kertas ini, ya?" ujar Olga seraya meletakkan tumpukan kertas itu di atas piring yang dibawa Mbak Vera. Lho? Mbak Vera cuma bisa geleng-geleng kepala, ketika Olga melaju di atas sepatu rodanya ­ke jalan aspal. Tapi harusnya Mbak Vera maklum kalo tau kenapa Olga begitu ngebela-belain ninggalin siaran. Ya, jangan kaget ya kalo ternyata si Olga itu janjian jam empat sore sama Somad bin Indun. Hihihi.... Janjiannya aja di dekat air mancur taman kota. Itu tempat sengaja Somad yang pilih, biar kesannya romantis. Olga sih oke aja, asal jangan di studio. Malu kan kalo temen-temen pada tau. Nah, dari jauh udah keliatan tampang Somad yang ndesit banget. Rambutnya nampak mengkilap saingan sama ujung idungnya yang mengkilap berkeringat. Di sisir ke belakang gaya rock'n roll. Dengan jaket jins yang tebel banget (serasa di Eropa!), dan (celana stretch yang super-ketat, gayanya dibikin abis-abisan. Sisirnya aja nongol dengan malu-malu dari celana panjangnya. Di kedua kupingnya yang caplang, nyantel headphone yang kabelnya dililing di leher (karena kepanjangan!), dan ujungnya nemplok di walkman yang nempel di ikat pinggang. Entah lagu apa yang sedang ia putar, yang pasti kini pinggulnya lagi bergoyang dengan hot-nya, sehingga tetangga kanan-kiri yang lagi ikutan nongkrong di situ, memandang kesal ke arah perjaka itu. Begitu ngeliat Olga bersepatu roda-ria ke arahnya, Somad langsung histeris. Eee, ternyata si Somad juga diem-diem ngebela-belain pake sepatu roda, biar dibilang sehati dengan Olga. Karena ia belum terbiasa, walhasil langsung nyusruk di semak-semak, ketika berusaha menghampiri Olga. Olga kaget. Ya, amplop! Tapi seperti tak terjadi apa-apa, tanpa melepas headphone, ia berteriak kenceng, "Oh, Olga..., aye percaya pasti situ bakal datang menjemput Abang. Ini Abang bawain buah gohok sekantong plastik buat situ!" Olga merasa risi begitu ngeliat pandangan orang-orang tertuju pada mereka berdua,..... ­"Ssst, jangan histeris gitu, dong! Gue gak punya waktu banyak, nih!" "APA?" Olga sebel banget ngeliat Somad yang bego banget ngomong tanpa ngelepasin headphone-nya. Ya, mana bisa kedengeran? Sambil menyeret tangan Somad ke tempat yang rada sepi, Olga menyuruh Somad ngelepasin headhone-nya. "Kenapa dilepas, Olga? Pan lagunya canggih punya. - Nih, denger,". Somad dengan atraktifnya langsung memasang headphone ke te1inga Olga. Olga langsung gelagapan ngedenger lagu reggae We Are The Champions-nya Asher & Daddy Freddy yang terdengar nyaring banget di telinga. "Hei, lepasin!" Olga membentak. Somad jadi kecut hatinya. "Denger, Mad, saya gak punya waktu banyak, sebab mau siaran lagi. Gini aja, nanti. malem kamu ke rumah saya jam sembilan-an. Ini alamatnya. Saya dapet free card ke diskotek buat empat orang. Saya ama temen-temen mau ngajak kamu. Kan seru, tuh. Kamu mau, kan?" "Ke disko? Oh, Bang Somad mau banget. Kapan entar malem Minggu, ya? Enyak Somad kudu nebok celengan dulu buat ongkos. Asyik, udah lama Abang gak denger lagu-lagunya Hamdan ATT." "Kok Hamdan ATT. " "Abis siapa?" "Ya, udah. Ntar malem aja, ya, ketemu lagi." Dan Olga bener-bener buru-buru berlalu dari situ. Kembali ke studio. Tiba-tiba, "Eh, Olga! Buah gohoknya!!!' Somad berusaha menyusul Olga dengan sepatu rodanya. Tapi malah nyemplung ke kolam air mancur. Plung! ­*** Tiba di Radio Ga Ga, teryata isu "pertemuan rahasia" Olga vs Somad udah nyamduluan. "Ciee, jumpa fans nih, yaaa!" Olga jadi sebel. Padahal pertemuan itu sudah sedapat mungkin ia rahasiakan. Tapi kok ya bocor juga. "Tadi si Andi kebetulan lewat situ, bukan salah dia dong kalo kemudian ngeliat lo lagi asyik mojok ama perjaka penuh misteri itu. Janjian buat ntar malem Minggu, ya?" ungkap Mbak Eva sambil kepedesan makan rujak. "Apaan sih, Mbak Eva, saya gak mojok kok!" elak Olga. "Alaaaah sudah ada saksi mata kok masih mungkir? Masih untung enggak dipotret ama Andi. Wah, bisa dimasukin ke buletin kita nih!" Ucup yang sebetulnya sempet naksir Olga juga ikut-ikutan ngocol. Olga buru-buru masuk ke kotak siaran. Dan langsung gabung sama Mbak Vera yang duluan membuka acara. Sementara Andi, sang operator, cengar-cengir sambil memutar lagu pembuka dari Debbie Gibson, In the Still of the Night. Mbak Vera yang selesai mengantarkan lagu, berbisik pelan ke arah Olga, "Ol, Mbak juga denger desas-desus itu. Kamu serius sama si Somad ?" Olga tersenyum penuh arti. Meninggalkan teka-teki di benak Mbak Vera. Ah, MbakVera gak tau kalo sebetulrnya Olga punya rencana tersendiri. Ia lagi kaki sama maminya yang hobinya ngelarang melulu. Dulu, siaran dilarang. Sekarang, pacaran pasti juga dilarang. Belum lagi kalo diitung-itung larangan lainnya seperti: ke diskotek, nyetir mobil sendiri, pulang telat dikit dari sekolah, memelihara kelinci di kamar, berenang di bak mandi, mengecat rambut jadi pink, nyetel agu rock keras-keras di kamar, main layangan di genteng, membaca Mode sambil menaikkan kaki ke atas meja, membawa telepon ke kamar mandi, ketawa keras-keras di tengah malam buta, makan es krim sambil tidur mengganjal meja belajar dengan ensiklopedia Papi, nyuci baju di dapur, bersiul-siul waktu sembahyang, sarapan di rumah tetangga, sikat gigi tanpa odol, dan sederetan larangan lainnya yang bikin Olga gak bebas. Sebagian emang bener, tapi sebagian lagi terasa dibuat-buat. Maka kali ini dia nekat mau pacaran sama Somad. Kan jelas tuh, si Mami bakal belingsatan. Hihihi.... *** ­Pas teng jam setengah sepuluh malam Somad datang, ternyata Olga udah pergi. Tadi dijemput sama Wina. Somad sempat kelimpungan nyari alamat Olga, hingga ia telat setengah jam. Tapi ia nekat. "Assalamualaikum!" sapanya keras. Papi dan mami Olga yang udah siap narik selimut di ranjang, jadi saling berpandangan "Masa malam-malam begini ada yang minta sumbangan, Pi?" ujar Mami. Sementara segen banget turun dari ranjang, karena rambutnya sudah penuh rol buat bikin rambut ikal. "Assalamualaikum!" "Tuh, Pi. Sana turun. Intip dulu. Siapa tau Papi belum bayar iuran tipi." "Ah, Mami. Mungkin itu suara tetangga yang lagi mengigau," ujar Papi males, sambil menarik selimut tebel. Brrr, malam ini terasa dingin. Tadi sempat ujan gede banget sih. "Hei, sana dulu dong, Pap! Papi ini ada-ada saja, masak orang mengigau sekeras itu?" Mami mendorong Papi hingga ngedubrak ke lantai. Dengan malas Papi berjalan ke luar, "Waalaikum salam!" Lalu mengintip dari balik gorden. Astaga! Dugaan Mami benar. Itu pasti tukang minta sumbangan. Kentara dari jenggotnya! "Assalamualaikum!" "Ya, ya, ya, mualaikum salam!" Papi buru-buru mencopot grendel pintu depannya sambil menggerutu, "Tamu, ya?" "Yeaah, mau dibilang tamu, memang begitu adanya. Mau dibilang anak sendiri, nantinya juga begitu," sahut Somad ngakrab banget. Papi bengong. Lho, kok malah main tebak-tebakan. "Lho, jadi kesimpulannya kamu ini siapa?" ujar Papi setelah membuka pintu. "Aye Somad bin Indun, Be. Perkenalkan, punya radio dua band. Aye calon mantu Babe. Sukaannye Neng Olga. Ya­ calon anak Babe sendiri," ujar Somad sambil menjabat erat tangan Papi. Papi melongo. "Olganya ada, Be?" "Eh, O-olga udah pergi. Tadi pesen, kalo ada yang dateng, dia bilang dia udah pergi. Gitu.." "Oh." Dengan tak habis pikir, Papi buru-buru menutup pintu, dan hendak berbalik ke kamar. Tok-tok-tok. Pintu diketok lagi. Ah, ada apa lagi nih? Papi kembali membuka grende1 pintu.... "Maap, Be, tapi Olga perginya ke mana?" "Pokoknya tadi dia bilang, kalo ada yang daten.g, bilang Olga udah pergi!" tegas Papi sambil, bruk! Menutup pintu dengan sebal. Tok-tok-tok! Astaga! Ada apa lagi, sih? "Maap, Be. Olga udah pergi, kan?" tembak Somad. "Ya, ke diskotek Ori!" ujar Papi ketus. Eh,tiba-tiba Papi sadar. Kok jadi ngebocorin ke mana Olga pergi? Sebelum Papi meralat Somad udah keburu ngucapin terima kasih dan ngebut dengan motor bututnya! *** ­Minggu pagi Olga bangun rada siangan. Ya, abis. semaleman ke diskotek sampe jam dua. Papi dan Mami lagi asyik ngobrol di beranda belakang sambil minum teh. Acara tipi jalan begitu saja, tanpa ada yang memperhatikan. Olga segera mondar-mandir di sekitar situ. Mencoba menarik perhatian. Ya, ia pengen banget si Mami marah-marah, gara-gara Somad nekat dateng semalem, ngaku-ngaku pacar Olga. Hihihi... 'si Mami pasti shock. "Sini kamu, Ol," perintah Mami begitu Olga lewat untuk yang kesepuluh kalinya. Yuhuuu, akhlrnya perangkapnya kena juga. "Ada. al?a, Mi?" ujar Olga cuek, sambil berhenti di depan Mami. Papi berlagak baca koran Minggu pagi. "Duduk." Olga nurut. "Jadi yang tadi malem itu benar pacar kamu, Ol?" "­Ya, begitulah...," Olga tersenyum dalam hati. "Benar-benar pilihan kamu?" Olga mengangguk lagi. Olga sudah setengah mengharapkan bentakan Maml, tapi ternyata suara Mami malah semakin lembut, "Ya, kalo emang udah pilihan ­kamu sih, Mami gak bisa bilang apa-apa. Papi gimana?" tanya Mami ke arah Papi. ­"Ya, Papi sih setuju aja. Anaknya keliatan baik." "Tuh, Papi juga sudah setuju. Jadi, kapan mau tuker cincin? Abis lulus SMA? Atau bulan depan?" Olga jadi bengong. Lho, kok jadi begini Kok Papi-Mami malah setuju? Jimat apa yang Somad pakai, sampai bisa menaklukkan Papi Mami? Olga jadi ngeri ngebayangin. Tuker cincin? Kawin? Idih, ngebayang ke situ pun Olga masih ogah. Tadinya kan Olga cuma mau bikin Mami keki. Kok malah setuju? Dengan rasa heran campur sebel, Olga langsung ngeloyor ke kamarnya, tanpa berkata apa-apa lagi. Papi dan Mami ketawa ngikik, ketika Olga masuk ke kamarnya, "Tuh, kan, apa kata Papi. Sebetulnya justru dengan tidak dilarang, dia akan mundur dengan sendirinya. Namanya juga anak muda..., hihihi," ujar Papi setengah berbisik. Mami masih terkikik-kikik, memuji akal bulus Papi yang jitu. ­ 7. Petak Ngumpet ­OLGA buru-buru ngebuka headphone-nya yang menutup kuping. Sebentar kemudian dari kaca studio, dilihatnya Wina melambai-lambaikan tangan di ruang operator. Pukul setengah sepuluh. Malam Minggu ini Olga memang punya janji sama Wina buat jojing di Ori. Dan Wina, ternyata, menepati janjinya. Dan Olga, ternyata, gak begitu kagum sama kedisiplinan Wina. Soalnya anak itu emang paling hobi ke disko. Jadi pasti datang. Coba kalo janjian kerja bakti, pasti Wina gak bakalan datang. Walau janjinya udah pake sumpah pocong segala. Gondoknya, begitu kita nelepon ke rumahnya, maka pembantu yang nerima telepon bakal bilang Wina lagi bobo. Dan kalo udah gitu, jangan deh sekali-kali nyuruh si pembantu ngebangunin Wina. Soalnya si pembantu akan bilang takut, dan serta-merta meletakkan gagang telepon. Tapi malam ini Wina tepat datang pada waktunya. Olga lalu nyamperin Wina di ruang operator. Berbasa-basi sebentar dengan Andi, yang bertindak sebagal ope­ator khusus Olga. Lalu Olga mengajak Wm­ pamitan sama Mbak Vera. Sebemar kemudlan, Wonder kuning Wina pun meluncur ke arah Hilton. Menembus gerimis yang turun rintik-rintik. Di dalam Wonder biasanya Olga memeluk dengkulnya sambil menyenandung­an lagu kesukaannya, "Katakan padaku, hai tukang kayu." Begitu tiap malem Mmggu. . Malem Minggu berikutnya Wina udah ngejogrok lagi di studio. Nyatronin O­ga siaran. Lama juga tu anak duduk di samping Andi yang ganteng, yang si­buk memencet-mencet tombol, sebelum akhirnya Olga ngerapiin celotehnya di radio. . "Ke mana kita?" serbu Olga pada Wina, setelah ngeberesin kertas-kertas radio-skrip yang berserakan di meja. Dan langsung duduk di dekat Wina. "Diskotek," jawab Wina semangat.. "Ah, bosen diskotek melulu," reaksl Olga ternyata di luar dugaan. Wina sempat terkesiap sejenak. "Kalo gitu kita ngeceng aja yuk, di Circle K?" ­"Apaan yang mao dikecengin? Paling yang itu-itu juga cowoknya. Lama-lama nek juga gue ngeliatin penarnpilannya yang kaya gay begitu." "Abis ke mana dong? Nonton di cineplex?" "Nomon melulu juga gak enak. Lagian apa ada filmnya yang bagus? Kelas dua semua. Rugi dong melototin film jelek!" "Ke Sogo aja deh. Siapa tau ada barang yang cocok dibeli?" "Gila apa lo? Duit dari mana? Barang-barang di situ kan bujubune mahalnya. Lagian gue lagi bosen, salah-salah bukannya kita nawar barang, malah kita yang ditawar orang. Lagian sebenernya gue lagi bosen. Kayaknya ckreasi kita cuma itu ke itu doang. Kurang variatif. Gue pengen sesuatu yang lain, yang bisa ngerubah suasana." "Apaan tuh?" "Ya, apaan. Kok malah nanya? Gue gak tau." Olga dan Wina lalu mikir-mikir sejenak. Keningnya berkerut-kerut. Tapi gak juga ketemu ide yang enak buat ngisi malem Minggu ini. Sampai akhirnya Mbak Vera masuk ke ruang operator memanggil Andi. "Di, selesai rekamannya?" "Beres, Ver, bentar lagi. Tinggal mentransfer doang." ­"Cepetan dikit, ya? Anak-anak udah pada nunggu, tu." "Oke, Mbak." jawab Andi semangat. Lalu dengan sigap Andi menata alat-alat rekaman. Meletakkan headphone di rak, mematlkan CD dan alat rekam lainnya. Sementara Mbak Vera menunggu dengan gak sabar. "Ada apa sih, Mbak? Kok kayaknya penting banget?" Olga jadi penasaran. "Eh, Olga. Eh, Wina. Mbak Ver sampe ­gak ngeh kalo kalian ada di, sini. Pada ngapain? Ngecengin Andi, ya? Dia udah punya cewek tuh, lagi sekolah di Australia. Hahaha... Iya kan, An? Biasanya kalian langsung cabut, kok tumben masih ada di sini?" sambut Mbak Vera bertubi-tubi. Olga dan Wina cuma nyengir. "Lagi gak ada acara yang enak nih, Mba­k. Mau ke mana-mana kok rasanya bosen amat," ungkap Olga. "Nah, kebetulan kalo gitu. Ikut acara kita aja. Pokoknya ditanggung sip." "Bener, nih?" Olga nampak tertarik. "Masak Mbak Vera bo'ong sih sama kalian". "Acara apa tuh, Mbak?" sekarang Wina yang bertanya. "Maen petak umpet!" jawab Mbak Vera semangat. ­"Apa?" hampir bersamaan Wina dan Olga bertanya. "Petak umpet. Masak gak denger, sih?" "Nggak salah tuh, Mbak?" "Betul. Petak umpet! Kita beberapa minggu ini selalu bikin permainan itu di sini. Mau ikutan?" Olga sama Wina kompakan melongo. Kok ya kepikiran main petak umpet di zaman sekarang ini? ­*** ­Kringgg!! ! "Olga ada, Oom?" terdengar suara Wina di telepon. "Ini Somad, ya?" "Ah, Om. Ini Wina," Wina merajuk. "Emang suaranya kayak Somad?" "Abis perjaka itu udah tiap malam Minggu telepon kemari, tapi Olga-nya gak pernah ada. " "Terus, sekarang emang Olga-nya mana?" "Dia katanya ke Radio Pa Pa." "Radio Ga Ga?" "Iya, Radio Bla Bla." "Iya, deh, Oom. Trims, ya?" Ketika meletakkan gagang telepon, Wina sempet keki juga. Sialan, tu anak udah berangkat duluan! ­Dan Wina pun langsung memacu Wonder kuningnya ke Radio Ga Ga. Sampai di studio, Wina memang udah ketinggalan acara. Permainan petak umpet udah berlangsung beberapa babak. Waktu datang, pas Olga yang kena giliran jaga. "Olga gokil, lo tinggalin gue. Bilang-bilang kek kalo mau berangkat!" damprat Wina begitu melihat Olga lagi mindik-mindik di antara bufet. "Ssst, sori dah, Win. Tapi sebaiknya sekarang lo tenang dulu. Bentar lagi juga mereka pada kena. Lo kan langsung bisa ikutan game berikutnya," saran Olga. Meski gondok, Wina terpaksa menurut. Sementara dari arah kamar mandi terdengar suara gedombrangan. Aha, rupanya Bang Ucup yang ngumpet di kamar mandi kepeleset, dan jatuh ke kloset! "Bang Ucup kenal Bang Ucup kena!" Olga menjerit-jerit kegirangan. Ucup gelagapan. Gak lama kemudian, karena pada gak tahan menahan geli ngedengar rintihan Ucup, Olga pun berhasil juga memergoki persembunyian peserta lainnya. "Hebat juga kamu, Ol," puji Mbak Vera yang sebelumnya merasa aman bersembunyi di rak kaset. Olga tersenyum bangga mendengar pujian ­Mbak Vera. Beda banget sama Ucup yang keliatan keki. Sibuk mojok sambil memijit-mijit tulang keringnya yang membiru terbentur porselen. "Siapa sih yang tugas nyuci kamar mandi? Kok sampai dibiarkan licin begitu ?" Tapi gak seperti biasanya, sejak sering main petak umpet, Ucup jadi rada akraban dengan Olga. Maka kalo tadi keki, Ucup bukan keki sama Olga, tapi keki kenapa kakinya mesti kepeleset sampai tempat ngumpetnya akhirnya diketahui Olga. Dan itu berarti Ucup harus jaga, karena dia yang paling duluan kepergok. Di babak ini Wina mulai ikutan. Tapi karena peserta baru, Wina diminta suit sama Ucup. Yang kalah jaga. Cuma emang dasar apes, tiga kali suit, tiga-tiganya Wina yang keluar. sebagai pemenang. Jadi tetap aja Ucup ang jaga. Olga dan Wina lalu bareng-bareng ngumpet di gardu satpam, waktu Ucup menutup matanya sambil menghitung satu sampai seratus. Biar sekalian belajar matematika, ngitungnya harus bilangan prima aja. (Nah, kan makin lama tuh, karena pake acara mikir dulu!) Sementara di gardu satpam yang terhalang beberapa mobil anak-anak yang terparkir, Wina dan Olga malah ketiduran. Tinggal Ucup yang kebingungan nyari. Diem-diem Mbak Vera juga ngumpet rada jauh. Dia dijemput pacarnya, dan ngumpet sambil makan es krim di Blok M. Sementara Andi malah langsung ikut reli mobil di radio lain. Ucup bener-bener dikerjain. Ini yang bikin hampir semua kru Radio Ga Ga suka sama permainan petak umpet. Bisa ngerjain orang. Termasuk Olga dan Wina. Sejak mereka coba-coba ikut waktu ditawarin Mbak Vera, langsung kecanduan. "Setelah suntuk ke diskotek, ini baru namanya permainan. Bener-bener lain daripada yang lain," ucap Olga suatu ketika. . Wina juga manggut-manggut waktu itu. Dan sejak itulah, mereka gak bisa melepaskan diri dari permainan petak umpet. Sampai waktu ada undangan ultah temen sekelasnya di Park Royale, Olga dan Wina malah sibuk main petak umpet di Radio Ga Ga. Kedengerannya gila betul. Tapi emang sebenernya sejak kecil Olga dan Wina boleh dibilang jarang main petak umpet. Maklum produk anak zaman sekarang. Waktu kecil tinggal di komplek perumahan yang anak-anaknya jarang bergaul. Begitu gede, langsung kenal diskotek dan sejenisnya: JJS, ngeceng, nonton film. T emu aja mereka jadi gak akrab dengan alamnya. Dengan lingkungannya. Makanya Olga kaget betul waktu Mbak Vera bilang petak umpet itu sejenis permainan rakyat. "Waktu kecil Mbak Vera suka main petak umpet di kampung. Waktu rumah di kampung masih satu-dua. Jadi anak-anak bisa leluasa bermain. Gak kayak sekarang, rumah di kampung rapat-rapat. Boro-boro main petak umpet, jalan aja rasanya susah. Akibatnya jarang anak sekarang yang bisa main petak umpet lagi. Mbak Vera pengen menghidupkan kembali permainan rakyat itu. Makanya Mbak Vera ajak temen-temen di Radio Ga Ga untuk ikutan." Olga dan Wina mendengarkan dengan seksama penuturan Mbak Vera. Mbak Vera juga cerita, selain petak umpet, masih banyak lagi permainan rakyat yang sekarang jarang dimainin anak-anak kota besar. Misalnya permainan taplak, puter tambang, uler-uler kelabang, tok kadal, dampu, atau galah asin. Dan masih banyak lagi. "Wah, pokoknya zaman Mbak Vera kecil, lain banget deh sama sekarang. Dulu permainan rakyat kayak gitu masih terasa sekali kesaktiannya. Berlari-larian di halaman, di bawah bulan purnama yang bersinar terang. ­Kalo anak sekarang kan udah dididik sama teknologi. Makanya mereka lebih mencintai teknologi daripada lingkungan. Daripada alam." "Tapi apa Mbak Vera gak malu udah gede masih main petak umpet? Ini kan permainan anak-anak," Olga bertanya akhirnya. "Kenapa mesti malu? Mbak Vera ingin menghidupkan lagi permainan rakyat seperti ini. Bulan depan nanti, setelah kita bosen main petak umpet, Mbak Vera malah punya rencana main uler-uler kelabang. Mau ikut, kan?" ­"Wah, bakalan asyik dong!" jerit Olga. "Sip, deh. Daripada kalian buang-buang duit ke diskotek, kan mendingan main uler-uler kelabang. Tul, nggak?" "Setuju, Mbak Vera," Olga dan Wina mendukung serentak. Dan kini dua anak gokil itu tertidur pulas di gardu dengan mimpi yang indah sekali. Mimpi main uler-uler kelabang. Sementara itu Ucup dari sejam yang lalu masih kelabakan mencari mangsanya, membuat Erwin yang lagi ngumpet di atas tiang listrik ketawa cekikikan. ­*** ­Malam Minggu akhir April, Mbak Vera keliatan suntuk. Wajahnya ditekuk. Olga yang baru selesai siaran, buru-buru nyamperin Mbak Vera. "Mbak V er, sekarang programnya main uler-uler kelabang. Ayo dong, Mbak, kita mulai," ajak Olga menarik-narik tangan Mbak Vera. "Ayo, dong. Mbak," Wina gak kalah segutnya. Ucup sama Andi pun udah siap-siap. Tapi wajah Mbak Vera nampak lagi suntuk. Anak-anak jadi ngeper. "Kenapa sih, Mbak Vera?" tanya Olga memberanikan diri. Mba­ Vera mendesah, "Uh, bosen juga, ya, di studio terus. Jalan-jalan aja, yuk?" ajak Mbak Vera akhirnya. Anak-anak diam sejenak. "Jalan-jalan ke mana?" Ucup bertanya. "Jojing di Musro," "Ke mana?" Olga jadi penasaran dengan jawaban Mbak Vera. "Musro! Masak nggak denger, sih? Yuk?" Mbak Vera menarik tangan Olga. Yang lain melongo. Kok balik ke diskotek lagi? Ya, siapa yang bisa bertahan hidup menentang arah angin? ­ 8. Dunia Ayesha ­JAM satu siang suasana lengang. Ayesha meniti koridor sekolah gak bernapsu. Temen-temennya udah banyak yang pada pulang. Ini emang udah lewat setengah jam dari bel terakhir. Beberapa anak kelas tiga yang lagi nongkrong di kantin, bersiulan menggoda gadis keturunan Jepang yang putih mulus itu. Ayesha emang teman satu sekolah dengan Olga. Tapi kenal Olga cuma gitu-gitu aja. Just say "hello". Yang Olga tau, Ayesha termasuk kembang di SMA itu. Cantiknya gak pasaran. Spesifik. Selain cantik, dia juga suka ketawa. Denger hal yang lucu dikit, langsung ketawa. Jadinya terkesan akrab. Makanya banyak cowok situ yang punya pikiran yang enggak-enggak kalo udah ngobrol ama Ayesha. Dikira Ayesha suka. "Beneran, waktu ngobrol ama gue, wah, Ayesha ketawa terus. Malah sambil nyubit-nyubit lagi. Gue yakin tinggal nunggu waktu yang tepat aja buat nyampein hasrat hati," ­ujar seorang cowok di kantin sambil matanya tak lepas memandang Ayesha. "Ah, waktu ngomong sama gue, Ayesha sampe pengen pipis segala saking cekikikan-nya. Dia mima gue yang nganter, karena cerita itu emang belon tamat. Ayesha pesan supaya gue bersedia melanjutkan cerita lucu itu. Tapi, pas Ayesha selesai pipis, gue gak nerusin ceritanya. Gue bilang kapan-kapan aja. Ayesha mohon banget. Trus gue bilang, gimana kalo malam Minggu gue dateng ke rumahnya untuk nerusin cerita itu? Wah, Ayesha bersedia banget." "Masih kalah!" tukas seorang cowok yang nampak gak lucu sedikit pun. "Masih kalah apanya?" protes dua cowok yang ngerasa diberi angin Ayesha, "Lo kan gak pernah lucu kalo cerita!" "Gue tau. Tapi Ayesha tetap cekikikan waktu gue deketin di kantin. Karena hari itu gue nyewa Bagito grup!" Ya, ya, Ayesha adalah buah bibir. Ayesha adalah siulan. Ayesha adalah decakan. Ayesha adalah angan-angan. Ayesha adalah cerita-cerita lucu. Ayesha kebetulan juga fotomodel. Ia sering jadi model iklan dan cover majalah. O ya, nama lengkapnya Ayena Ayesha Kamusmurah. Bapaknya orang Jepang, ibunya Sunda. ­Dan mengapa dikasih nama begitu, karena bapaknya hobi banget baca kamus yang harganya murah. Pulang sekolah ini dia ada panggilan d­ari biro iklan yang biasa memakai jasa dia. Produknya belum jelas. Yang penting ­Ayesha disuruh datang dulu. Kebetulan tadi Lida temennya mau ikutan juga, karena dia masuk finalis putri remaja yang diadakan oleh sebuah perusahaan shampoo. Ceritanya mau berangkat bareng. Tapi sampe jam segini, tu anak belum nongol juga. Tadi dia emang sempet mesen jangan ditinggalin, mau ke butik sebentar. Ayesha pun duduk di dalam Twin Cam-nya yang terparkir di bawah pohon akasia. Menyalakan ac untuk mendinginkan udara yang panas. Sambil men­engarkan. Debbie Gibson, ia membaca majalah terbitan tadi pagi. Tapi lama-lama gelisah juga ia, karena janjian sama Mbak Grace yang di advertising jam satu harus udah nyampe. Aduh, gini deh kalo janjian sama anak yang suka ngaret. "Halo, Ayesha...," sapaan lembut bikin ia kaget. "Aduh, dikira setan. Gak taunya ada orang gila," ujar Ayesha sambil mengelus ­ada. Iwan cuma cengar-cengir. "Ngapain bengong sendirian?" ­"Nunggu temen," "Perlu ditemenin?" Ayesha membuka pimu sebelah. Membiarkan Iwan masuk. "O ya, saya kan pernah ke dokter," Iwan mulai berusaha mengarang cerita lucu. "Gara-gara lengan saya sakit. Di sana saya bilang sama dokter, duh, dokter saya gak tau lagi apa yang mesti saya lakukan. Setiap saya mengangkat lengan, sakitnya bukan main. Kamu tau dokternya ngomong apa?" Ayesha menggeleng. "Dokternya ngomong gini," lanjut Iwan, "kalo gitu jangan mengangkat lengan." Ayesha tak tertawa. Iwan heran. "Eh, ceritanya gak lucu, ya?" "Bukan. Bukan gak lucu. Kemaren kan udah. " Iwan menepak jidatnya. "Eh, itu Lida!" teriak Ayesha tiba-tiba. "Saya jalan dulu, ya?" Waktu Twin Cam-nya Ayesha melaju di jalanan aspal, Iwan cuma bisa memandang dari tepi jalan. Ya, sayang sekali ia tak mampu membuat tertawa Ayesha. ­*** ­Di dalam mobil Ayesha diam aja. Kesel sama Lida. ­"Sori Ay saya nyari baju gak ada cocok. Abis takut mau langsung ada pemotretan." Ayesha sesekali meliri­ ke jam tangannya. Uh terlambat setengah jam, deh. Ya, perjalan­n dari sekolah ke kantor biro iklan kan lumayan jauh. Apalagi harus melewati jalur-jalur macet. "Eh­ Ay, waktu SMP dulu saya pernah juga lho ikutan beginian. Difoto-foto. Waktu itu apa, ya, majalahnya? Lupa...Pok­oknya sekarang gak nongol lagi. Saya dijadiin cover, lho, Ay." Ayesha masih diam. Dan terus akan diam. Sebab kalo tidak mulut Lida akan terus nyerocos. Ini salah satu sifat Lida yang gak disukai Ayesha. Lida suka ngebo'ong. , Lida pernah cerita ke Ayesha­ bahwa ia pernah ditawari untuk jadi model iklan kayak Ayesha tapi nolak. Alasannya karena dibayar terlalu rendah. Tapi, pas ditanya iklan apaan? Lida lupa. "Abis udah lama sih. Waktu di es de." Sebetulnya yang bikin tambah gedek, kenapa Lida ngebo'ongnya sama Ayesha, seorang model top. Yang tentu lebih tau seluk-beluk dunianya ketimbang Lida yang baru mulai terjun. "Saya aja yang udah dipake buat iklan segala macem, dan dijadiin cover berkali-kali, gak pernah cerita apa-apa ke siapa-siapa!" dumel batin Ayesha. Pas sampe ke kantor iklan, Ayesha segera mencari Mbak Graee yang jadi koordinator model. Gak taunya, Mbak Graee lagi rapat. Sementara di ruang tunggu ada beberapa calon model. Wah, kece-kece. Tapi masing-masing saling ingin keliatan cantik. Termasuk Lida. Lida malah dengan tanpa malu-malu mengeluarkan kotak bedaknya yang ternyata, baru dibeli! Ia memoles-moles pipinya biar tambah putih. Ayesha jadi males duduk di dekat Lida. Untunglah di pojokan masih ada satu kursi kosong. Selain jadi gak bisa ngeliatin gaya Lida yang centil, Ayesha bisa lebih leluasa nunggu Mbak Graee sambil lihat-lihat Vogue. Mas Jon, fotographer yang rambutnya gondrong diikat ke belakang, setelah menegur Ayesha dengan akrab, kemudian mengajak semua finalis masuk ke ruang serbaguna untuk sekadar diberi pengarahan. Tinggal Ayesha duduk sendirian di ruang tunggu. Ayesha meneruskan penantiannya sambil memandangi lukisan-lukisan camik yang terpajang indah menghias dinding kamor. Ayesha suka desain kamor-kamor biro iklan. Sering terlihat artistik. Ia betah. Apalagi tadi Mbak Graee udah minta maaf karena ada rapat mendadak, dan memesan Ayesha untuk menunggu. Lagi asyik-asyik membaea majalah, tiba-tiga pundak Ayesha dijawil. "Permisi, Dik. Adik model juga, kan? Tau gak, siapa ketua juri pemilihan lomba cover di sini? Di mana dia sekarang?" Ayesha kaget. Lebih-lebih diberondong pertanyaan aneh seperti itu. "Dik, tolong panggilkan dia, dong. Saya ini mau protes, masa anak saya cantik-cantik begini gak masuk final barang sedikit pun?" "Siapa, Tante?" "Itu, orang yang milih-milih pemenang lomba itu. Mana? Saya mau ngomong." "Mas Jon barangkali, maksud Tante? Dia emang tadi yang mengkoordinir para model di sini." "Siapa kek namanya, yang penting saya rnau ngomong. Saya protes, masa anak saya gak menang sih? Pasti ini pilih kasih. Mentang-mentang anak saya asli bikinan sini. Bukan anak indo kayak situ." Ayesha jadi kesel. Ia pun buru-buru memanggil Mas Jon. Karena Ayesha sudah jadi model langganan di situ, ia jadi gak kagok menginterupsi acara pengarahan model-model baru itu. ­"Siapa, Ay?" "Gak tau. Tapi mendingan buru-buru temui, deh, sebelum terjadi hiruk-pikuk," ujar Ayesha sambil menahan senyum. "Tapi, suruh tunggu bentar deh. Tanggung, nih." Ayesha kembali ke ruang tunggu. Eh, bener juga sih tante ini bahwa anaknya emang cantik. Tapi soal pemilihan pemenang tentunya disesuaikan dengan selera juri sini, dong. Kan para juri punya kriteria tertentu untuk menetapkan siapa-siapa yang masuk final. "Katanya tunggu sebentar, Tante." "Iya, saya tunggu. Eh, Adik ini model juga, kan? Ikut masuk final? Adik memang cantik. Tapi anak saya kan gak kalah camik. Coba liat aja nih, foto-foto yang masuk final. Dibanding anak saya kan gak jauh-jauh amat. Malah ada yang lebih jelek dari anak saya. Tapi anak saya kok gak menang...." Ayesha cuma mengangguk-angguk. "Nah, itu dia Mas Jon, Tante." "Halo, selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?" sapa Mas Jon ramah. "Banyak. Pertama, kenapa anak saya ini kok gak masuk final. Kedua, kenapa yang lain masuk. Ketiga, ada yang lebih jelek tiga biji bisa masuk. Keempat, saya ini mau protes. Kelima, naik haji bila mampu, eh -" ­Hihihi, Ayesha tertawa geli. "Wah, untuk memilih pemenang bukan pekerjaan gampang, Tante. Kami perlu waktu yang cukup lama. Dan yang menentukan bukan cuma seorang..." "Iya, saya tau. Tapi kan anak saya ini cantik, " "Iya, tapi kriteria cantik juga macam-macam.. Ada kecantikan yang memang terpancar dari dalam. Ada yang cuma..." "Alaaah, orang cantik, ya cantik. Masa untuk lomba beginian ada syarat lain lagi, sih? Iya nggak, Dik" Ayesha yang gak nyangka bakal dimintain pendapat, mengangguk dengan gugup. Anehnya sang anak yang dipromosiin abis-abisan cuma diem aja mengkeret di pojokan. Kasihan. "Terus terang aja," tukas tante cerewet itu, "Saya udah lama mempersiapkan anak saya untuk menjadi model. Saya yakin, karena dia cukup cantik. Saya juga dulu, waktu muda, pernah jadi model iklan kecap cap Bango..." Ayesha ngikik lagi. Iya, Tante yang jadi bango-nya, ya? batin Ayesha dalam hati. "....Dan pasti ada turunan bakat pada dia, kan? Eh, kok malah gak menang." Terus-terang gaya kontroversial tame centil ini bikin semua karyawan di situ pada ngumpul di lobi, ngeliatin dari atas ke arena pertempuran. Sementara Mbak Grace mulai keluar dari ruang rapat. Ayesha demi melihat Mbak Graee hatinya sedikit lega. Ia berharap bakal diajak masuk ke dalam. Ia sebel banget ngeliat tingkah tante cerewet itu. Yang marah hanya karena anaknya gak menang. Dalam hati Ayesha bersumpah untuk tidak bakal mau ketemu lagi sama ibu itu. Nah, Mbak Graee pasti nanyain saya batin Ayesha. Ayesha siap berdiri menghampiri Mbak Graee. "Ada apa, Jon?" tanya Mbak Grace pada Jon, dan pada Ayesha ia cuma tersenyum aja. "Ini Mbak, tante ini..." "Saya protes," tukas tante itu. "Masa anak saya yang cantik begini gak lolos sensor, eh, lolos seleksi, sih?" Mbak Grace menatap tante itu seperti ngeliat sesuatu yang menakjubkan sekali. "Tante ini..." "Iya, ini anak saya. Dia ikut lomba, tapi gak menang. Padahal cantik, kan?" "O, jadi anak tante ini ikut lomba di sini, begitu?" "Iya, tapi gak menang. Aneh, kan?" "Aduh, jangan putus asa. Ikut aja lagi taun depan. Siapa tau gagal lagi. Tapi Tante gak usah khawatir. Kebetulan saya baru saja rapat untuk materi s­buah film iklan di bioskop dan RCTI. Kita lagl butuh model gadis remaja dan ibu-ibu muda. Tentunya keduanya harus cantik. Sudah seminggu saya cari model buat ibu muda, tapi gak ada yang cocok. Tapi kok, saya malah menemukannya di sini. T ante mau kan jadi model film iklan? Syutingnya gak lama kok." "Saya?" "Iya, Tante." "Ah, yang betul?" "Betu!. Malah kalo bisa hari ini ikut meeting persiapan syuting nanti. Memang agak mendesak." "Oh, eh, bisa! Bisa. Eh, Jayanti, kamu pulang duluan sana. Bilang sama Papa kalo Mama belum pulang. Ada rapat untuk film iklan, gitu. Oh, ya, Mbak, kalo boleh tau model remajanya siapa yang dipakai nanti?'­ "Ini." Mbak Grace menunjuk Ayesha. Ayesha bengong. Tak menduga. "Ay, kamu udah kenal tame ini?" "B-belon, Mbak." "Kenalan, dong." Tante itu menjabat erat tangan Ayesha sambil tersenyum centil menyebutkan namanya, "Deborah..." Ayesha berusaha tersenyum. ­"O ya, Mbak. Kalo boleh tau, untuk iklan apa? Shampoo? Kosmetik?" "Bukan. " "Jadi iklan apa?" "Iklan lem tikus." "Hah?" Tante itu kaget. Ayesha juga, dong. ­ 9. Gosip Sip ­AYAM jago tetangga Ucup 'ntu pagi memekik keras banget. Bikin Ucup terjaga dari ngorok-nya. Mimpinya amburadul. Ucup mengueek-ueek matanya. Nyari-nyari celana kolor barang sebentar. Lalu melesat ke pekarangan rumah. Setelah pipis secukupnya di atas kerikil yang masih basah oleh siraman embun, Ucup lalu berkukuruyuk sekeras-kerasnya membalas si ayam tetangga. Tentu aja si ayam jadi kaget. Tapi Ucup malah cuek. Dan kini doi melakukan gerakan senam ala kadarnya. Menggeal-geolkan pantatnya. Jongkok. Nungging. Jongkok lagi. Nungging lagi. Akhirnya menarik becak, eh, menarik napas panjang sampe idungnya kempes. Kemudian membuangnya jauh-jauh sampe nggak keliatan lagi. Kini Ucup membusungkan dada. Memainmainkan otot tangannya. Tapi bayangan ­Ucup tetap aja jauh dari Patriek Swayze. Malah lebih mirip Doyok. . . Body Ucup emang ceking mekingking. Jadi bisa dikira-kira deh kalo sekali tempo Ucup ikutan co-boy Mode. Pasti keburu tewas di babak pengiriman. Maksudnya sebelon sampe ke tim juri, tukang pos dengan relanya udah duluan ngebuang foto Ucup ke tong sampah. Tapi pagi itu senam Ucup jelas nggak ada hubungannya sama lomba co-b­y Mode, kecuali tuntutan profesi. Sebagal pennyiar­ Ucup memang harus olah tubuh jaga­ kondisi agar selalu fit. Itu makanya Ucup rajin banget senam tiap pagi, minum susu, nyuci (Ih, kegiatan yang terakhir kayaknya nggak­ cocok banget deh), selain terus memperbaiki warna vokalnya. Seperti pagi ini, Ucup terus melakukan gerakan senam sampe keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Pukul setengah delapan, ketika sinar matahari mulai menyengat, Ucup baru menyudahi kegiatannya. Dan buru-buru ngabur ke kamar mandi. Cibang-cibung pake sabun cuci. Sambil bersiul-siul pake irama rap, Ucup membayangkan hari indah yang bakal dilaluinya. *** ­Minggu pagi itu Olga lagi duduk ngisi TTS di ruang depan. Sementara Wina asyik baca majalah yang baru terbit. Pagi yang cukup indah, tapi bikin kedua cewek itu suntuk. Biasa, masalahnya tu anak lagi pada jatuh miskin, gara-gara dua hari berturut-turut nonton konsernya Richard Marx. "Win, kurang dikit lagi, nih. Enam mendatar pertanyaannya: bodoh, blo'on, bego. Dua hurup terdepan udah ketemu, P dan A. Tapi kotak yang tersedia ada enam. Padahal jawabannya yang betul kan PAPI, ya?" Wina mendekatkan kepalanya, ikut melototin kotak-kotak TIS. "Iya, ya? Harusnya empat kotak." Papi yang merasa disebut-sebut namanya, yang lagi asyik baca koran Minggu pagi, sempet bengong. Namun sejurus kemudian, ia asyik lagi dengan bacaannya. Mami cekikikan sambil mondar-mandir menyiapkan black forest hasil eksperimennya dari resep yang ia baca pada sebuah majalah wanita. Bau gosong tercium sampai ke tetangga sebelah. "Mungkin jawabannya bukan 'Papi', Ol." "Abis apa?" "Pandir. Y a, pandir kan enam kotak." "O, iya " Kringgg!! T elepon berdering pas ketika ­Mami melintasi bufet. Ia langsung mengangkat dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih penuh dengan tepung terigu. "Siapa?" ucap Mami tanpa basa-basi. Sebentar kemudian Mami pun menjerit, "Olgaaa, telepon dari Kuncup!" "Ucup, Tante," terdegar suara protes dari ujung telepon. "Siapa?" "Ucup." "Wah, sori, ya?" "Ah, gak pa-pa, kok." "Olgaa, buruan, nih. Telepon dari Kucluk." "Lho, kok Kucluk?" "Suka-suka kita, dong!" eetus Mami sambil menyerahkan telepon ke Olga yang baru sampai ke arahnya. "Siapa ini?" Olga langsung bertanya. "Ini Bang Ucup. Olga, ya?" Olga berpikir sejenak. "Ada apa, Bang Ucup? Tumben nelepon. Biasanya sering." "Ah, Olga bisa aja. Gini lho, Ol, apa Minggu ini kamu ada acara?" "Tergantung." "Gimana kalo Bang Ucup ajak JJS? Makan apa nonton, gitu?" Olga berpikir sejenak. ­"Setuju," jawab Olga akhirnya. "Tapi boleh kan saya ngajak temen?" Ucup yang ternyata numpang telepon di kantor kelurahan ragu-ragu sebentar. "Ng...?" "Gimana, boleh nggak?" "Ya, bolehlah." "Sip!" Olga kegirangan sambil meletakkan telepon keras-keras. "Win, ada kabar gembira. Kita bakal lolos dari bencana dipaksa makan kue gosong si Mami! Kita gak bakal kelapar­n." "Ada apa, sih?" "Ada yang ngajak makan!" "Asyiiik!" Mereka pun melonjak-lonjak kegirangan. *** Tapi lantas ada gosip yang nyebar. Ucup dikabari ada mam sama Olga. Nggak jelas dari mana asalnya. Tau-tau orang sekantor udah pada tau. Tentu banyak yang heran. Mana mau sih Olga jadi pacarnya Ucup? Dan setengah nggak percaya. "Tapi kenyataannya kan begitu," tandas mas Darmo dari bagian klining serpis meyakinkan Mbak Vera di kantin. "Buktinya?" ­"Olga sering diajak makan ama Ucup." "Hihi...," Mbak Vera ngikik, "biasa aja, kan. Olga kan paling hobi ditraktir." Mbak Vera masih berkeras nggak yakin. Soalnya dia tau betul gimana sikap Olga sama Ucup. Dia benci banget. Kalo diukur-ukur, sebenarnya kans Somad lebih gede untuk bisa menggaet Olga dibanding Ucup. Memang sih sejak peristiwa petak umpet dulu, Ucup sempat akrab sama Olga. Tapi akhirnya jadi benci lagi, gara-gara Ucup sering kege-eran. Jadi mana mungkin Olga mau sama si Kuneup, eh Ucup. Mbak Vera ngelamun sendirian. Lha kok jadi serius banget sih? Orang yang pacaran, kenapa saya yang pusing. Tapi mungkin aja ya Olga pacaran sama si Ucup. Besi aja bisa patah. Apalagi Olga. Siapa tau Olga kena pelet. Soalnya belakangan ini Ucup sering banget pake minyak sinyong-nyong. Baru tiga hari kemudian Mbak Vera yakin Olga udah jadi pacarnya Ucup, setelah seisi Radio Ga Ga ngasih tau. Termasuk tukang siomai yang sering mangkal di depan kantor. Apalagi dalam satu kesempatan, Mbak Vera sempat memergokin Olga lagi makan bareng maminya di Hanamasa. ­Yee, lantas apa kaitannya ama Ucup? Ya nggak ada. Itu kan cuma bisa-bisanya Mbak Ver aja. Dan memang sampai sejauh ini Olga sendiri belum menyadari kalo gosip mengenai dirinya tengah merebak di Radio Ga Ga. Olga tetap seperti biasa, kalo lagi siaran suka tidur. Dan jarang cuci kaki kalo mau tidur. *** ­"Wah, saik dong lo punya pacar Ucup. Doi kan senior lo di Radio Ga Ga. Karir lo bisa tambah nanjak, dong?" Olga melenggak. Pukul setengah satu udara di pelataran sekolah panas banget. Baru dari Wina ini Olga tau kalo ia dianggap pacarnya Ucup. Olga jelas kebingungan. "Pacar apa? Jangan bikin cerita fiktif lo." "Ah, kura-kura dalam perahu! Kucing belang nggak doyan tahu, siapa di sini, siapa di situ, langit mendung di atas perahu, kodok lompat nggak sampe kali, ikan betok anaknya banyak, nembak burung yang kena ayam, ember dibalik tumpah minyaknya, pantat biru pantatnya orok, bakar jagung di atas genteng," ujar Wina. Ya, belakangan ini dia lagi maniak banget sama pantun. Soalnya mau ikut lomba berbalas-pantun antar SMA. Jadi tiap hari latihan terus. Lumayan hadiahnya tiket bis Cililitan-Kalideres. "Apa-apaan sih lo, kok jadi ngaco gitu sih?" Olga bersungut-sungut. "Eh iya,. kok jadi ngaco gitu sih. Mau mantun, nggak ketemu-ketemu pasangannya. Maksudnya gini, Ol, lo jangan kura-kura dalam perahu deh. Jangan pura-pura nggak tau. Eh, malah ketemu pasangan pantunnya." "Pura-pura apaan, monyong." "Lo kan pacaran ama Ucup?" "Amit-amit jabang bayi." "Bayi menangis dicubit ibunya. Ibunya kesandung yang jatuh bokapnya. Dulu benci sekarang cinta. Payung item payungnya orang mati. Sayap capung bening warnanya. Tai gergaji ngelilipin mata. Kambing kurus kejeduk pintu. Tukang ojek kupingnya caplang. Sepatu butut..." "Mulai deh ngaco lagi!" Wina cuek. "Ini pasti gara-gara si Kuncup. Sebel. Siapa sih yang nyebar gosip murahan kayak gitu?" Wina nggak bisa segera menjawab. ­*** ­Ucup udah pasang tampang akrab begitu Olga keluar dari ruang rekam. Tapi berhubung Ucup nyetel radionya di kamar rumah kontrakan dia, jadi Olga sama sekali nggak tau. Olga merapikan surat-surat kiriman yang baru aja dibacanya untuk siaran T2M. Ucup memasang tampangnya di cermin. Malam itu di kamar Ucup sepi sekali. Di studio juga sepi. Cuma ada Olga, Andi, dan Wina yang terkantuk-kantuk di pojokan. Ucup menyetel Right Here Waiting di tipnya. Lalu memeluk guling seerat mungkin. Udara dingin menggigit. Ah, seandainya malam ini ada yang menemani. Ucup membatin. Lalu memasang obat nyamuk. Ayam jago tetangganya nyaris berkukuruyuk. Sementara Olga dan Wina udah sejak tadi pulang dari Radio Ga Ga. Ucup bener-bener nggak bisa tidur. Hatinya gelisah. Banyak yang dipikirin. Adalah jodohnya yang seret yang membuat Ucup bingung tujuh keliling. Umur udah makin bangkotan. Tapi sampe kini belum satu pun ada cewek yang rela jadi pacarnya. ­Gimana nggak bingung. Tapi Ucup nggak perlu sebingung itu kalo sadar yang bikin jodohnya berat sebenarnya adalah dia sendiri. Ini karena selera Ucup terlalu tinggi. Ucup kelewat milih-milih dalam mencari pasangan. Sering banget pilihan nya nggak sesuai ama kondisi dirinya. Yang ditaksir sebangsanya bintang film, fotomodel. Atau sesial-sialnya figuran atau penari latar Aneka Ria Safari. Coba, mana ada yang mau kalo ngeliat kondisi Ucup yang pas-pasan itu. Lagi kalo mau jujur, yang biasa-biasa aja juga belum tentu mau sama Ucup. Ini gara-gara doi juga yang kebanyakan nampang di diskotek atau di tempat-tempat jet-set lainnya. Ya, ia selalu sok nge-jet-set. Pergaulannya aja sok milih-milih sama kalangan atas. Emang sih jadi gak kuper, tapi tampang keteter. Duit gajian saban bulan, hanya abis buat jojing di Musro, minum vodka, kencan di restoran mahal. Padahal kali dia tau, gadis-gadis cakep yang matre itu cuma mau morotin dia aja. Gawatnya, Ucup selalu punya cerita lain sama kenyataan. Manis banget. Pendeknya, Ucup nggak pernah gagal kalo naksir bintang film. Malahan biasanya, bintang filmnya duluan yang naksir dia. Banyak yang nggak yakin. Tapi gilanya, sekali tempo Ucup pernah juga jalan sama bintang film top yang dia bilang pacarnya. Sebagai penyiar dia emang juga deket sama artis-artis buat diajak wawancara radio. Tapi kan bukan lantas untuk dipacari. Dan sampe sekarang Ucup masih sendiri. Itu kalo dia mau jujur. Dan Ucup tersentak ketika ayam jago tetangganya berkokok dalam irama disko. Pagi sudah menjelang. ­*** ­Hari itu telepon di rumah Ucup berdering. Ucup yang baru bangun, abis semalem nongkrong di diskotek, menyambar gagang telepon dengan malas, "Siapa?" "Halo, Bang Ucup, ya? Ini Olga." Olga? Ucup langsung melonjak duduk. Aduh, tumben banget ni anak nelepon kemari. Ada apa, ya? "Gini, Bang Ucup hari ini pergi, nggak?" "Enggak, ada apa, Ol?" Ucup berkata penuh harap. "Waktu itu, waktu kita pergi dulu ternyata anting emas Olga ilang satu. Ketinggalan nggak di mobil Bang Ucup?" "Gak tau, ya? Nanti deh, Bang Ucup cariin dulu." ­"Iya, deh. Tolong cariin ya, Bang. Kalo gak ketemu, tolong digantiin, ya? Ntar pulang sekolah saya ambil ke situ." Dan Olga langsung menutup telepon. Sementara Ucup masih gak pereaya duduk di tempat tidur. Saking terkesimanya, ia tak mempedulikan sarung yang mlorot sampai ke batas - dengkul. Ah, akhirnya kena juga tu anak, batin Ucup. Ya, sebetulnya dia emang naksir setengah mati sama Olga. Dan kini, tiba-tiba Olga nelepon mau datang. Wah, pertanda baik. Mau beli anting emas seratus gram pun bakal ia bela-belain. Dan Olga benar-benar datang waktu Ucup sibuk membongkar-bongkar mobilnya. "Hai!" seru Olga riang, sambil menukik tajam masuk ke pekarangan rumah Ucup dengan sepatu rodanya. Masih mengenakan seragam dan tas sekolah. "Hai!" Ucup membalas riang. Dia terpesona banget ngeliat penampilan Olga hari itu. Polos dan manis. Rambutnya diikat buntut kuda. "Ketemu, Bang?" "Sayang sekali enggak. Kita beli yang baru aja, yuk?" "Olga gak punya duit." "Abang kok yang beliin." Olga tersenyum. "Boleh minta minum?" ­"Eh, oh, tentu. Mau minum apa? Tequila Sunnse? Vodka?" ujar Ucup sok tau. "Ah, Coca-Cola aja." "Aduh, Coca-Cola lagi abis." "Ya udah, air putih aja." Lalu Ucup mengajak Olga duduk di serambi depan. Sesaat kemudian, Ucup muncul dengan air es-nya dan sepiring kacang goreng. Lalu uduk menemani Olga. "Bang, udah denger gosip yang masih gres?" "Gosip apa?" Ucup jadi berdebar-debar. "Katanya kita berdua pacaran." "­O ya?" Ucup berlagak kaget. Tapi kentara dari ujung jempolnya, kalo kagetnya Ucup itu terlalu dibuat-buat. "Terus tanggepan Abang gimana?" Ucup salah tingkah. "Kalo Olga gimana?" Olga memejamkan mata sambil tersenyum. Kemudian ujarnya kalem, "Yang nyebar gosip itu slapa, sih? Kita kan baru sekali pernah pergi bareng." "Lho­, saya gak tau. Kamu gak suka ya digosipin­ begitu," ujar Ucup cemas. "Ah, justru sebaliknya. Kenapa cuma gosip, ya? Coba kamu sendiri yang beneran bilang ke saya kalo kamu suka...." Ucup kaget. Ia sama sekali gak nyangka Olga bakal ngomong begitu. Sebagai cowok ia jadi merasa kecil banget. Kalah jantan sama Olga. Ya, kenapa Olga yang harus datang ke sini? Kenapa gak Ucup aja yang datang ke rumah Olga, dan mengutarakan isi hatinya? Kenapa harus dengan nyebar gosip segala? "Olga...," Ueap Ucup tersendat. "Seb-sebetulnya A-abang sendiri kok yang nyebar gosip itu. Maaf, ya, Ol, soalnya Abang takut Olga gak suka sama Abang...." Nah! Olga langsung berdiri, "Oh, begitu. Jadi bener ya kata anak-anak radio kalo ini emang ulah kamu sendiri. Dasar kampungan!" Olga pun menyiramkan air es-nya ke wajah Ucup. Ketika Olga menghilang di tikungan jalan Ucup baru tau kalo ia terjebak. ­*** ­Di suatu sore yang basah, di ruang administrasi yang bersebelahan dengan ruang on air, akhirnya Ucup minta maaf atas semua ulah nya. Olga masih bersungut-sungut mangkel. Tapi akhirnya baek juga setelah ngeliat tampang Ucup yang sedih. "Bang Ucup sih gitu. Makanya jangan suka pilih-pilih, dong," Olga mencoba akrab. "Iya, Cup, pilih-pilih sih boleh. Tapi ya ­jangan terlalu melambung. Biasa-biasa ajalah. Kita kan juga harus mengenali siapa diri kita. Nggak usah terlalu ngimpi. Nggak usah kelewat menginginkan sesuatu yang nggak sesuai dengan mentalitas kita. Malah repot jadinya. Asbak kan cocoknya cuma buat tempat rokok," Mbak Vera ikut-ikutan ngasih nasihat. Ucup jadi makin kecut hatinya. "Maksud Mbak Ver saya ini asbak?" "Mbak Vera nggak bilang gitu lho. Ucup sendiri lho yang bilang gitu. Mbak Vera sih percaya aja. Yah, namanya juga sama temen." Ucup bengong. Olga buru-buru mengejutkannya. "Nah, gimana saran Mbak Ver tadi?" "Ada baiknya juga diturutin. Tapi masalahnya sekarang, saya pengen banget punya pacar, Mbak Vera." "Oh, itu sih gampang," Mbak Vera nyeletuk. "Kebetulan Mbak Vera punya kenalan. Kamu minat?" Mata Ucup kontan bersinar-sinar. Olga serta-merta menoleh ke Mbak Vera. Curiga. "Siapa, Mbak?" Ucup bertanya nggak sabar. Kaya­nya minat banget dia. "Saodah, anak tukang ketupat tetangga Mbak Vera. T ampangnya sih nggak kece-kece ­amat, tapi anaknya baek dan pinter ngaji, lagi. Gimana, mau?" Ucup ragu-ragu sebelum akhirnya mengangguk pasrah. ­ 10. Kilik-Kilik ­SORE itu suasana Radio Ga Ga gak sesejuk sore di luar. Ini gara-gara Mas Ray, seorang penyiar senior yang juga menjabat wakil direksi, memasang tampang kusut. Lebih kusut dan kaset kusut. Lebih kusut dari keset. Mas Ray termasuk salah seorang dari pemilik Radio Ga-Ga. Selain siaran, Mas Ray juga jadi redaktur musik. Nah, Mas Ray inilah yang mensuplai lagu-Iagu anyar dari luar. Kali ini Mas Ray misuh-misuh karena keluarnya Andi dari Radio Ga Ga. Yang bikin Mas Ray tersinggung, karena sebelon keluar Andi sempat bilang gini, "Biar tau rasa. Lagu boleh anyar, tapi kalo gak ditata, gak diatur, tetap aja berantakan. Siapa yang mo denger?" Kontan semangat sengit Mas Ray bangkit. Kayak kambing kebakaran jenggot, Mas Ray jadi selalu keliatan uring-uringan. Mondar-mandir dari ruang siar ke wc, dari wc ke gardu satpam. Atau kadang-kadang malah nyasar ke kamar babu. Lebih-lebih lagi setelah Mas Ray ­tau Andi pindah ke radio lain yang secara nggak langsung adalah saingannya Radio Ga Ga, karena punya sasaran yang sama. Radio baru itu emang terkenal sering nyomotin penyiar atau penata rekam radio lain yang udah jadi dengan iming-iming gaji yang lebih gede. Sementara kebijaksanaan Radio Ga Ga sejak dulu kala adalah mencari penyiar-penyiar yang belum punya pengalaman, tapi bakat ada. Dia diberi kesempatan nimba ilmu di Radio Ga Ga agar punya skil. Tapi tentu aja gajinya gak gede-gede amat. Dan emang kebanyakan mereka yang mendapat keterampilan di Radio Ga Ga jadi punya loyalitas yang gede, karena merasa berutang budi. Makanya kaget banget Mas Ray waktu tau Andi pindah. Dia sama sekali nggak nyangka kalo bakal ada karyawannya yang bakal berkhianat. Emang, dulu Andi waktu masuk ke Radio Ga Ga, keterampilannya masih biasa-biasa aja. Kini setelah punya kepinteran, Andi malah keluar. Pantes aja Mas Ray keki. Tapi sebenarnya kepindahan Andi juga nggak bisa disalahin banget. Sebagai anak muda yang pengen hidup di dunia radio, Andi butuh perluasan wawasan. Butuh penambahan inkam. Buat keperluan sehari-hari yang meningkat, misalnya. Padahal gaji di Radio Ga Ga biasa-biasa aja dari dulu. Paling naik dikit-dikit. Makanya waktu ada radio lain yang nawarin gaji dan posisi yang lebih gede, ya Andi langsung cabut aja. Malah denger-denger di radio itu Andi mo dikasih kendaraan segala. Kendaraan umum, maksudnya, hihihi. Sekarang, yang pasti sih tiap bulannya Andi dapet jatah beras sebanyak tiga setengah liter. Lumayan kan buat nambah-nambah pendari­gan. ­ Walau kesannya jadi kayak pegawai negeri. Sebaliknya Mas Ray jadi ngerasa diledek sama ulah Andi. Seakan-akan Radio Ga Ga gak bisa ngegaji karyawannya dengan bayaran mahal. Padahal kan emang! Hihihi.... Pokoknya sore itu suasana Radio Ga Ga jadi keruh banget. Mas Ray yang ngomel melulu. Juga suasana sedih karena lenyapnya Andi. Yah, terutama Olga yang udah merasa klop banget dengan Andi. Tapi lepas daripada itu, sebenarnya suasana Radio Ga Ga terkadang cerah juga. Mbak Vera masih bisa tersenyum. Mas Darmo masih bisa nyapu. Dan Olga masih bisa ngisi bak mandi di rumahnya. Apalagi kadang-kadang, namanya juga redaktur musik, Mas Ray marah-marahnya pake irama rap segala. Mau nyaingin Milli Vanilli kali. Gini kira-kira marahnya, "Huh, ap-ap-ap- apa dikira gar-gar-gar-garuk-garuk eh, gara- gara kek-kek-keluarnya An-an-andi Radio Ga-Ga bakal an-an-an-aneur? Huh, huh, huh, sori dori mori, ye! Bes-bes-bes, wah kok macet? Besok juga kita udah bisa nyari gantinya yang leb-leb-leb-lebih canggih." Bayangin, apa nggak enak marah-marah kayak gitu? Huh, mentang-mentang redaktur musik. Tapi, biar udah disindir-sindir, dasar ndablek, tetap aja Mas Ray kalo marah pake irama rap. Sementara itu Nanda yang orang dekatnya Mas Ray yang sehari-harinya dipercayai mengawasi bagian administrasi, seperti misalnya memilih surat-surat yang datang dari luar sampe tagihan-tagihan utang dari tukang siomai, ikut-ikutan marah juga. Kacaunya Nanda ini orangnya luar-negeri-minded. Jadi dia kalo marah suka pake bahasa sono. Yang dipilih nggak tanggung-tanggung. Soviet. Kan jadi susah, soalnya tu bahasa banyak huruf matinya. Coba aja denger, "Huh, kaglo khetemux ghue, gue phityes igdhungnyeg tuhk anakx. Biar nyahoxk!" Akibatnya Mbak Vera cuma bisa manyun di pojokan. Mo ikutan marah takut nggak lucu. Hihihi.... Olga juga cuma bisa bengong. Sebenarnya tu anak paling nggak suka ama suasana tegang kayak begini. Walo Olga juga turut menyayangkan sikap Andi yang keluar dari Radio Ga Ga. Maksud Olga, kenapa keluarnya baru sekarang. Gak dulu-dulu aja. Hihihi... Olga lalu mencolek pundak Mbak Vera. "Daripada bengong, mendingan kita maen tulis-tulisan di punggung pake jari. Lumayan, kalo ketebak dapat cepek," ajak Olga. Kontan aja Mbak Vera mau. "Iya ya, daripada bengong. Tapi gimana caranya?" "Gampang, gini lho, caranya." Olga lalu menjelaskan caranya dengan singkat. Setiap anak harus menulis di punggung anak yang duduk di depannya dengan jari telunjuk. Kalo ketebak baru gantian dan dapat hadiah seratus perak. Setelah Mbak Vera mengerti, Olga lalu diminta menulis duluan di punggung Mbak Vera. Olga memulai. Ia menuliskan kata 'ini' di punggung Mbak Ver. "Ayo, apa, Mbak Ver?" bisik Olga Mbak Vera mikir sebentar. "Ini," terka Mbak Ver. "Yak betul, cepek!" Sekarang giliran Mbak Ver yang nulisin punggung Olga. Mbak Ver lalu menulis kata "itu" pake jarinya yang lentik kayak dingklik ke punggung Olga. "Ayo apaan?" pinta Mbak Ver. "Apaan, tuh?" Olga pura-pura bingung. "Ulang dong, Mbak Ver. Kurang jelas. Nulisnya kalo bisa agak ke atasan dikit." Mbak Ver menuruti permintaan Olga. "Wah, jangan kelewat cepat, dong, Mbak Ver. Kan susah mengingatnya." Mbak Ver kembali mengikuti permintaan Olga. Ia menulis pelan-pelan. "Ayo, sekarang apa?" tanya Mbak Vera. "Wah, apa, ya?" "Masak nggak tau sih," Mbak Vera mulai kesel. "Bener nggak tau," Olga ngeyel. "Makanya nulisnya lebih pelan lagi. Kalo bisa diteken dong, pasti Olga bisa nebak deh," akhirnya Olga meminta lagi. Mbak Yera hampir mengulang lagi, kalo nggak keburu sadar bahwa sebenarnya dia lagi dikerjain Olga. "Sialan kamu, Ol. Bilang aja dari tadi minta digarukin! Pura-pura main tulis-tulisan lagi," Mbak Vera misuh-misuh sambil menjitak pelan kepala Olga. Olga ngikik. Kik-kik-kik. Tinggal Mbak Vera yang jadi keki banget. Sementara Mas Ray makin menjadi-jadi aja ngaconya. Dia memasang headphone ke kupingnya. Maksudnya, biar marahnya lebih khusyuk. "Yeah, saya tekankan sekali lagi, bagi penyiar yang mo pindah, silakan deh! Asal tau aja, Radio Ga Ga gak bakalan ancur dengan kepergian kalian. Apalagi cuma dengan kepergian Andi. Kalo mo, sehari sepuluh kita juga bisa nyari ganti yang lebih jago dari Andi. "Oke, sebelon marah ini dilanjutin, sama-sama kita dengerin dulu lagu Champion Lover dari Deborah. Oke?" Olga yang tadi bengong jadi terkikik-kikik denger ngaconya Mas Ray. Dikira lagi siaran apa? ­*** ­Suasana gak makin lebih baik. Isu berikutnya langsung nyasar ke Olga. Gara-garanya emang rada masuk akal. Olga itu diminta jadi bintang tamu siaran di radio baru yang ditangani Andi saat ini. Padahal Olga bener-bener bintang tamu. Hanya sekali itu dia siaran. Karena di radio baru itu ada rubrik acara yang berjudul "Reuni". Singkatan dari "remaja unik". Menampilkan idola remaja yang menonjol di suatu bidang. Dan si bintang yang diundang, emang disuruh siaran langsung sendirian. Nyeritain tentang dirinya, pribadinya, prestasinya dan segala sesuatunya. Acara ini digarap unik. Dan karena Olga dan Andi kebetulan udah akrab, acara itu berlangsung intim sekali. Dan kebetulan ada kru Radio Ga Ga yang mendengar. Terus-terangnya, Olga seeara gak langsung emang ditawari Andi untuk ikut ngegabung ke radio itu. Olga dijanjiin sepatu roda yang bisa jalan sendiri, ada radar-nya. Tapi Olga gak mau. Karena ia tipe anak yang belum mikir panjang ke depan. Dia masih merasa betah di Radio Ga Ga. Kalo dia suka, dia akan ambil. Kalo enggak, dia cuek aja. Tapi sebelnya, gosip kalo Olga bakal cabut dari Radio Ga Ga makin santer aja. Sampai-sampai satpam yang biasanya gak tau apa-apa, sempet ngomong gini waktu ngeliat Olga, "O, ini tho anak yang mau keluar juga? Sayang ya, padahal anaknya cukup rajin lho kalo kita suruh-suruh." Belum lagi tatapan senior lain yang penuh curiga. Ucup apalagi. Betul-betul menjijikkan saat itu. Ledekan-ledekannya terasa nyakitin banget. "Kalo mo keluar, ya keluar aja, Ol. Dapet mobil, kan? Ngapain sih di sini? Capek-capek gak dapet apa-apa. Tapi kalo udah punya mobil inget-inget saya, ya?" . "UCUUUP!" jerit Olga. "Kamu jangan usil begitu, ya? Kata siapa saya mau keluar dari sini? Lagi kalo emang saya keluar, apa urusan kamu? Emangnya kamu bapak saya? Ih, amit-amit punya bapak kayak kamu!" "Yeee, lagian siapa yang mau punya anak kamu?" balas Ucup. Olga hampir aja membanting headphonenya yang baru mau dia pake, kalo gak tiba- tiba Mbak Vera nongol. "Ada apa, Ol?" Olga memberengut. Kesal. Mbak Vera menatap Ucup. "Kenapa kamu, Eup?" "Anu, Mbak, Olga mmta dilamar...," ucap Ucup. "Yeee, amit-amit!" Olga meledak lagi. "Daripada pacaran sama elo, mendingan naik haji!" "Lho, apa hubungannya?" kelit Ucup "Ya, kalo naik haji kan dapet pahala. Kalo pacaran sama elo? Boro-boro pahala..." "Sudah-sudah. Pergi sana, Eup. Ganggu orang kerja aja," lerai Mbak Vera. Lalu ia menghampiri Olga sambil berkata lembut, "Mau rekaman, Ol?" Olga mengangguk lemah. "Mbak bantuin, ya? Lagu-lagunya udah dipilihin?" Olga mengangguk lagi. Lalu keduanya rnembisu sambil mempersiapkan alat rekam. ­*** Tapi jelas sekali keadaan jadi runyam sejak perginya Andi. Tenaga Andi yang potensial itu boleh dibilang motornya Radio Ga Ga untuk urusan teknis rekam. Sebab Andi bukan cuma pekerja yang kayak robot. Bukan bisa memutar lagu. Tapi dia juga jago nge-remix. Bikin lagu dang-dut jadi rap. Dan keahlian macam ini perlu daya kreativitas yang tinggi. Gak sembarangan orang bisa. Radio Ga Ga disukai, karena lagu yang ditampilkan selalu terdengar 'lain' dengan lagu biasanya. Makanya cabutnya Andi bikin Radio Ga Ga kalang-kabut. Penata rekam lain gak ada yang sanggup menyaingi kreativitasnya. Mas Ray sebenernya cemas melihat keadaan itu. Tapi sikap sombongnya gak ilang-ilang. Kesombongan itu sebetulnya cuma buat nenutupi kekhawatirannya. Kelihatan, dengan menantang semua karyawan Radio Ga Ga untuk keluar, sebetulnya Mas Ray sangat takut ditinggalkan. Seseorang yang benar-benar kuat, gak akan bersikap seperti itu. Hanya orang yang terpukul yang banyak mengumbar omong besar. Mestinya Mas Ray berpikir, kenapa Andi sampe pergi dari Radio Ga Ga. Mungkin Andi merasa gak puas sama sikap Mas Ray yang kadang suka petantang-petenteng. Me­n tang-mentang wakil pimpinan. Atau mungkin juga Andi gak diberi kebebasan untuk mengembangkan bakatnya. Atau bayaran di Radio Ga Ga emang gak sesuai lagi dengan keterampilan Andi. Radio Ga Ga konon emang perusahaan keluarga yang sistemnya terlalu kaku. Yang masih menganut aturan senioritas. Siapa pegawai paling lama, dia yang lebih dapat kedudukan at­u gaji yang lebih tinggi. Padahal keahlian gak selalu bisa dinilai dari lama tidaknya orang bekerja di suatu bidang. Ada aja yang datang, dan langsung melejit. Seperti Olga, misalnya. Dan sore itu Mas Ray mengadakan pertemuan mendadak. Di sebuah rumah makan yang cukup mewah. Inti pertemuan sebetulnya cuma menegaskan kembah bahwa keadaan perusahaan sehat-sehat saja. Padahal... "Kalian jangan macam-macam kayak si Andi itu. Apa kalian gak inget, siapa sih yang bikin kalian kenal seluk-beluk radio? Siapa sih yang bikin Andi jadi penata rekam jempolan? Saya. Sayalah orangnya. Karena sayalah yang mencanangkan kebijaksanaan menerima tenaga yang belum siap pakai untuk kita didik di Radio Ga Ga. Agar dia jadi orang pinter. Coba, apa di radio lain ada yang kayak gitu?" Mas Ray nampak emosional sekali. "Nah, kalau kalian memang orang yang beradab, harusnya kalian punya loyalitas, dong. Punya tenggang-rasa, dong. Iya, kan, Olga?" Olga yang lagi duduk di dekat kolam jadi gelagapan. Tatapan Mas Ray tepatnya seperti menuduh ke arahnya. Nada bicaranya sinis. Olga jadi kecut. "Andi seperti kaeang yang lupa pada kulitny­. Gak tau balas budi. Udah capek-capek kita mendidik dia, tapi gak ada timbal-baliknya. Olga kalo mau keluar, ya keluar aja. Gak usah kasak-kusuk segala. Gak usah mentang-mentang kayak Andi. Saya tau, Olga banyak fans-nya, tapi tanpa Olga misalnya, Radio Ga Ga gak bakal ancur!" Olga tercekat. Es kelapa yang lagi ia seruput, serasa mampet. Ia langsung bisa menebak, ke arah mana pembicaraan Mas Ray. Dengan mata merah, Olga pergi meninggalkan pertemuan itu. "Eh, Olga!" Mbak Vera berusaha menahan. ­Makanan yang belum habis, Olga tinggalkan begitu saja. ­*** ­Olga lagi duduk di taman belakang rumahnya, ketika Mbak Vera mengunjungi. "Saya sakit hati, Mbak. Saya tadinya bener-bener gak punya niat keluar. Tapi omongan Mas Ray yang bikin saya sakit hati malah membuat saya pengen keluar," ujar Olga sambil bersungut-sungut. "Mbak Vera tau kok. Mbak Vera minta maaf kalo omongan Mas Ray menyinggung kamu. Dia sebetulnya lagi panik, Ol. Dan sebetulnya gak usah ngomong begitu ke kamu. Mbak Vera udah negur dia. "Terus-terang, sebetulnya kita gak berhak menahan orang yang mau mengembangkan sayap seperti Andi. Orang-orang seperti Andi atau kamu, yang kemampuannya bisa diandalkan, sebetulnya aset buat perusahaan. Orang-orang seperti kamu gak seharusnya dibendung. Ia harus diberi wadah. Diberi kepercayaan untuk lebih mengembangkan diri. Adalah kejam bagi seorang pimpinan yang melarang anak buahnya mencari tambahan pemasukan buat dirinya. Karena suatu saat orang itu harus berkembang. ­"Seperti Andi misalnya. Dengan diakunya kemampuan dia oleh radio lain, sebetulnya jadi aset yang baik buat perusahaan kita. Buat Radio Ga Ga. Karena orang lantas berpikir, Radio Ga Ga adalah pencetak bibit unggul "Mbak Vera atau Mas Ray sebetulnya gak berhak menahan kamu supaya terus di Radio Ga Ga. ­alo Olga mau pergi dari Radio Ga Ga, pergilah dengan baik-baik. Tapi kalo Olga mau terus di Radio Ga Ga, itu karena keinginan Olga sendiri. Bukan karena merasa ikatan moral atau berutang budi. Mbak Vera sadar betul kalo orang itu butuh berkembang. Kalo kita merasa gak bisa berkembang lagi di Radio Ga Ga, kenapa harus dipertahankan? "Mbak Vera pribadi gak suka ama sikap Mas Ray yang selalu merasa telah berjasa buat kemajuan seseorang. Mungkin betul bahwa kita pernah memberi jalan buat seseorang, tapi pada akhirnya yang menentukan adalah potensi orang itu sendiri.­ Kalo kita memberi kesempatan pada orang yang gak bisa apa-apa, hasilnya juga nol. Tapi sekarang ini memang banyak orang yang merasa telah berjasa ­ buat kemajuan o­ang lain. Kalo gak ada saya, dia pasti gak bisa seperti sekarang ini. Ah .. ­ . "Juga soal gaji. Jangan mentang-mentang Ucup misalnya lebih lama kerja di Radio Ga Ga daripada kamu lantas dia dibayar lebih mahal. Seseorang harus dibayar sesuai dengan kemampuannya. Tenaga profesional harus dihargai sesuai kemahiran yang dimilikinya..." Olga terdiam. Mbak Vera menatap daun kering yang rontok tertiup angin lembut. Jatuh perlahan di atas rerumputan. "Terima kasih, Mbak," ujar Olga sambil menatap Mbak Vera. Matanya berkaca-kaca. "Mbak Vera telah memberikan pengalaman yang berarti buat Olga. Kalaupun Olga kembali siaran di Radio Ga Ga besok, sungguh, itu karena masih ada Mbak Vera di sana..." Kini kembali Mbak Vera yang menatap Olga dalam-dalam. Sementara suramnya langit sore di luar, telah berubah menjadi hitam pekat. Sebentar lagi akan turun hujan.... SELESAI Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net